Makalah Studi Islam 3 dengan Tema
Islam, Bid’ah dan Bahayanya bagi Umat Islam
Makalah Ini untuk Memenuhi Kelengkapan Tugas Studi Islam 3
Dosen Pengampu : DR. Tjipto Subadi
Disusun Oleh :
Taufik Fajar Gumilang
A410100023
PROGRAM STUDI MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam memberikan tuntunan kepada manusia dalam hal pergaulan,
bahwa pergaulan itu hendaknya didasarkan atas moral atau budi pekerti yang
luhur, bukan atas dasar kemuliaan status sosial maupun materi dan sesungguhnya
dalam kehidupan ini sangat dibutuhkan adanya pengenalan antara manusia yang
satu dengan yang lain Dengan demikian tidak cukup bagi seseorang dalam
beribadah hanya mengetahui sunnah saja, akan tetapi juga harus mengenali
lawannya yakni bid’ah, seperti dalam hal keimanan tidak cukup mengerti tauhid
saja tanpa mengetahui syirik. Alloh subhanahu wa ta’ala telah mengisyaratkan
hal ini dalam firmanNya (yang artinya), “Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada thoghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al Baqoroh: 256).
Tak dapat disangkal lagi bila fenomena yang ada menunjukkan tak sedikit dari
kaum muslimin yang begitu hobi melakukan praktik bid’ah dan khurafat, yang
lebih mengenaskan bid’ah dan khurafat itu dikemas sedemikian rupa agar tampak
seolah-olah suatu ibadah yang disyariatkan, lebih tampil menarik dan mampu
memikat perhatian banyak orang.
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah
adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan. Maka
barang siapa yang berpaling dari Al-Qur’an dan Sunnah pasti akan terbentur oleh
jalan-jalan yang sesat dan bid’ah. Bid’ah adalah suatu kebodohan terhadap
hukum-hukum Ad-Dien, semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi
atsar-atsar risalah Islam, semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam Artinya: Sesungguhnya
Allah Ta’ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua
hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika
tidak ada (tersisa) seorangpun ulamapun, maka manusia mangangkat
pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa
dibarengi ilmu, akhirnya sesat dan menyesatkan. Bid’ah juga sesuatu yang
berpaling dari Al-qur’an dan Sunnah dan mengikuti hawa nafsu, firman Allah
dalam surah Al-Jatsiyah : 23 yang artinya : “Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai illahnya dan
Alloh membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati
pendengarannya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Alloh (membiarkannya sesat)”.
Bid’ah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui
batasan-batasan hukum Alloh dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa
hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat. Menuduh Rasulullah
Muhammad SAW mengkhianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan
membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui
bahwa semua bid’ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai
kaidah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada
perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah hasanah jika
dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak, namun
masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan
keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan
mobil, maka mobil ini adalah bid’ah namun bid’ah secara bahasa bukan definisi
bid’ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon,
pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakikatnya
bid’ah hasanah.
Dan bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata dari hawa nafsu
yang diikuti. Ashabiyah terhadap pendapat tertentu yaitu dari mengikuti dalil
dan mengatakan yang haq. Inilah keadaan orang-orang saat ini dari sebagian
pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur.
Apabila meraka diajak untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah serta membuang jauh
apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Qur’an dan Sunnah) mereka berhujjah
(berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang
mereka. Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada
bid’ah yakni orang-orang yang menyerupai orang-orang kafir. Hal-hal inilah yang
menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti
orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid’ah dan syirik, seperti merayakan
hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau minggu untuk amalan
tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka dan
lain sebagainya.
Dan banyak perkataan terlontar, dari orang yang belum paham (atau
mungkin salah paham) tentang bid’ah. Inti perkataannya menunjukkan bahwa bid’ah
itu sesuatu yang boleh dikerjakan. Untuk itulah pada makalah ini penulis akan
membahas berbagai kerancuan yang sering terdengar di kalangan masyarakat dan
melalui makalah ini diharapkan akan dihasilkan suatu kajian tentang “ BID’AH”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemasalahan di atas, maka Penulis dalam
menyusun makalah ini dapat mengambil beberapa permasalahan, yaitu
1.
Apa yang dimaksud “Bid’ah”?
2.
Bagaimana sesuatu
permasalahan, hal, tindakan atau perilaku bisa dikatakan “Bid’ah”?
3.
Bagaimana pesan yang disampaikan
dalam makalah yang disusun oleh Penulis tentang “Bid’ah” ini?
4.
Bagaimana tanggapan dan
pendapat masyarakat ataupun para ulama tentang “Bid’ah”?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian bid’ah
2.
Dapat
mengetahui sesuatu permasalahan, hal, tindakan atau
perilaku yang bisa dikatakan “Bid’ah”
3.
Mengetahui pesan yang
disampaikan dalam makalah yang disusun oleh Penulis
4.
Untuk mengetahui tanggapan
dan pendapat masyarakat ataupun para ulama tentang “Bid’ah,
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bid’ah
Bid’ah diambil dari kata bida’ yaitu al
ikhtira atau mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya atau sebuah
perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad
Shallallhu’alaihi wa sallam, tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang. Bid’ah
menurut istilah (syar’i/terminologi) adalah : sesuatu yang diada-adakan
menyerupai syariat tanpa ada tuntunannya dari Rasulullah yang diamalkan
seakan-akan bagian dari ibadah. Nabi menilainya
sebagai kesesatan dalam agama. Hukum bid’ah adalah haram. Perbuatan yang
dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam peribadatan dalam arti
sempit (ibadah mahdhah) yaitu ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya.
Firman Alloh yang artinya Artinya: “Alloh yang membid’ahkan (langit dan bumi)....”.
(Q.S.Al-Baqarah: 117). Yakni yang mengadakan atau menciptakannya dengan rupa
bentuk yang belum ada contoh yang mendahuluinya, yang seindahnya. Dalam kitab
Shahih Muslim bi Sarah Imam Nawawi dijelaskan “Dan yang dimaksud bid’ah,
menurut ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh terlebih
dahulu”. Sedangkan jika ditujukan dalam hal ibadah pengertian bid’ah yakni
“Suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan untuk bertentangan
dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ umat terdahulu”.
Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan bertentangan dengan
Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma umat terdahulu, baik keyakinannya atau
peribadahannya atau ia bermakna lebih umum yaitu apa-apa yang tidak di
syariatkan oleh Allah maka yang demikian itu adalah bid’ah. Bid’ah dalam
syari’ah adalah apa yang diada-adakan yang tidak ada perintah Rasul
Shallallahu’alaihi wa sallam. Membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang
lain mengikuti, sesuatu pekerjaan yang sebelumnya belum pernah dikerjakan, itu
disebut bid’ah. Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah
(agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada
contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rasulullah
Shallallahu’alahi wa sallam. Dalam hal ini Rasūlullôh
Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ”Barangsiapa yang mengamalkan suatu
amalan yang tiada ada tuntunannya dariku, maka tertolak” (HR Bukhari Muslim)
dan hadits : ”Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan neraka tempatnya.” Adapun
menurut etimologi (bahasa), makna bid’ah adalah al-ikhtira’, sesuatu yang
diada-adakan tanpa ada contohnya sebelumnya. Seperti firman Alloh : ”Allôhu
Badî’us Samâwât..” (Allôh-lah yang menciptakan langit, maksudnya mengadakan
langit tanpa ada contoh sebelumnya). Termasuk makna etimologi ini adalah,
ucapan Sahabat ’Umar : ”sebaik-baik bid’ah adalah ini” ketika beliau
memerintahkan untuk sholat tarawih berjama’ah…
Secara umum bid’ah bermakna melawan
ajaran asli suatu agama artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada
perkara agama atau ibadah. Maka inilah makna bid’ah yang sesungguhnya. Bid’ah
dalam agama memecah belah dan menghancurkan persatuan umat. Bid’ah dalam agama
juga mematikan sunnah. Pembuat dan pelaku bid’ah mengangkat dirinya sebagai
pembuat syariat baru dan sekutu bagi Allah. Pembuat bid’ah memandang agama
tidak lengkap dan bertujuan melengkapinya. Setelah mengetahui bahwa begitu
bahayanya bid’ah tersebut maka seharusnyalah kita menghindari dari hal tersebut
diatas. Maka dari itu tetaplah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan
Ijma sahabat. Firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 153 yang artinya: Dan
sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (lainnya). Sebab jalan-jalan itu akan mencerai beraikan
kau dari jalan-nya. Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu agar kamu bertaqwa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat
yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka
perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain
disebutkan : “Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan
didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”. Hukum dari bid’ah ini
adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam
hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.
Untuk
memudahkan pemahaman, berikut ini beberapa poin penting mengenai bid’ah :
1.
Makna bid’ah secara bahasa diartikan
mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
2.
Makna bid’ah secara istilah adalah suatu
cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dimana tujuan dibuatnya
adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
3.
Tiga unsur yang selalu ada pada bid’ah
adalah; (a) mengada-adakan, (b) perkara baru tersebut disandarkan pada agama,
(c) perkara baru tersebut bukan bagian dari agama.
4.
Setiap bid’ah adalah sesat.
B.
Macam-macam bid’ah
- Izzu bin Abdu Assalam dalam bukunya Qawaidu Alahkam fi mashalihi alanam hal:204, ia menganggap bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW adalah Bid’ah yang terbagi menjadi lima bagian, Bid’ah Wajiba (Wajib), Bid’ah Muharramah (Haram), Bid’ah Makruha (Makruh), Bid’ah Mandubah (Sunnah) dan Bid’ah Mubaha (boleh) dan untuk mengetahuinya maka bidah tersebut haruslah diukur berdasarkan Syar’i, apabila bid’ah tersebut termasuk ke dalam sesuatu yang diwajibkan oleh syar’i berarti bida’ah itu wajib, apabila termasuk perbuatan yang diharamkan berarti haram dan seterusnya. Defenisi ini kemudian diperkuat oleh Imam Nawawi dalam Fath Albari karangan Ibnu hajar hal:394, bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak pernah ada pada zaman Nabi adalah bid’ah namun ada yang terpuji dan ada pula yang tercela
- Imam Nawawi dalam kitabnya Alazkar, mengatakan bahwa bid’ah itu terbagi menjadi:
a.
Bid’ah Wajiba; Contoh : mempelajari ilmu
Nahwu untuk lebih memahami kalamullah dan sunnah rasul adalah sesuatu yang
wajib dipelajari dan untuk menjaga syariat maka bid’ah itu adalah wajib.
b.
Muharramah; Contoh : Mazhab-mazhab yang
sesat, seperti Qadariyah, jabariah dan Khawarij, juga termasuk menciptakan
sesuatu yang mendatangkan mudharat bagi diri dan orang lain.
c.
Mandubah; Contoh : Bid’ah Mandubah:
Pembangunan sekolah, jembatan, shalat tarawih berjamaah di mesjid dan
lain-lain.
d.
Mubaha ; Contoh Bid’ah mubaha: menambah
kelezatan makanan dan minuman serta memperindah pakaian.
Dan
beliau pun berbicara mengenai berjabat tangan setelah menunaikan shalat, dimana
berjabat tangan adalah sunnah pada setiap kali bertemu, namun orang-orang
terbiasa dengan berjabat tangan dan menjadikannya adat hanya pada setiap kali
selesai shalat subuh dan ashar saja, padahal tidak mempunyai dasar dalam
syara’, namun tidak apa-apa karena asal hukum berjabatan tangan adalah sunnah.
- Dalam kitab Annihayah,Ibnu Atsir berkata: Bid’ah itu terbagi menjadi dua yaitu Bid’ah hasanah dan dhalalah, jika bertentangan dengan perintah Allah dan rasulnya maka bid’ah itu termasuk golongan sesat dan tercela namun jika sesuai dengan nilai-nilai yang telah dianjurkan oleh agama maka bid’ah itu tergolong kedalam bid’ah yang terpuji, bahkan menurut beliau, bid’ah hasanah pada dasarnya adalah sunnah. hal serupa pun dikemukakan oleh Ibnu Mandzur. Di dalam Alquran Allah berfirman:”Yasalunaka maaza uhilla lahum qul Uhilla lakumu Atthayyibat” yang mengisyaratkan bahwa sesuatu yang baru selama tidak bertentangan dengan agama meskipun tidak ada dasar hukumnya adalah baik dan terpuji dan mendapat pahala, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:”Man sanna sunnatan hasanatan kana lahu ajruha wa ajru man ‘amila biha wa man sanna sunnatan sayyiatan kana ‘alaihi wizruha wa wizru man ‘amila biha”, barang siapa yang berbuat sesuatu yang baik maka baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya dan barang siapa yang berbuat sesuatu yang buruk maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang berbuat mengikutinya. Hal serupa pernah diucapkan oleh Umar ra:”Ni’matil bid’atu hazihi”, alangkah indahnya bid’ah ini, karena merupakan perbuatan baik sehingga termasuk kedalam golongan bid’ah yang baik dan terpuji meskipun Rasulullah SAW tidak pernah melakukan yang demikian yaitu melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah dan juga pada zaman Abu bakr, Umar ra lah yang mengumpulkan orang-orang dan menyunatkan shalat tarawih secara berjamaah di mesjid dan hal ini beliau namakan bid’ah “Ni’matil bid’atu hazihi”, yang menunjukan bahwa hal itu pada dasarnya adalah Sunnah berdasarkan sabda Rasul SAW:”Alaikum bisunnati wa sunnati alkhulafa Arrasyidina min ba’di”, dan Sabdanya yang lain:”Iqtadauw billazina min ba’di, Abi bakr wa umar wa ali”, hal ini mengabaikan hadis lain yaitu “Kullu muhdatsatin bid’at dan Kullu bid’atin Dhalalah”, karena yang dimaksud dengan hadis ini adalah apa-apa yang baru yang bertentangan dengan Syar’i serta tidak sesuai dengan agama.
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi hasanah dan sayyiah
sebagaimana dapat dilihat dari perkataan Imam Syafi’i dan para pengikutnya
seperti Izzu bin Abdu Assalam, An Nawawi dan abu Syamah.
Para
‘ulama ahli ushul fiqih telah sepakat menetapkan pembagian bid’ah itu kedalam
dua bagian yaitu :
1.
Bid’ah ‘Amm (umum) ;
Macam2nya : Fi’liyyah dan
Tarkiyyah, I’tiqadiyyah dan ‘Amaliyyah, Zamaniyyah, Makaniyyah dan Haliyyah,
Haqiqiyyah dan Idhafiyyah, Kulliyyah dan Juz-iyyah, ‘Ibadiyyah dan ‘Adiyyah.
(masing2 ada penjelasannya).
2.
Bid’ah Khash (khusus):
Macam2nya : Bid’ah wajibah, Bid’ah
Mandubah, Bid’ah Mubahah, Bid’ah Muharramah, Bid’ah Makruhah.
Jadi
ulama sepakat bahwa ciri amal ibadah agar diterima oleh Allah adalah Meniatkan
amal perbuatan semata demi Allah Subhanahu wa ta’ala dan ikhlas kepada-Nya dan
amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
- Sisi Perbedaan Antara Bid’ah Dengan Maksiat
Dasar larangan maksiat biasanya
dalil-dalil yang khusus, baik teks wahyu (Al-Qur’an , As-Sunnah) atau ijma’ atau
qiyas. Berbeda dengan bid’ah, bahwa dasar larangannya –biasanya dalil-dalil
yang umum dan maqaashidusysyarii’ah serta cakupan sabda Rasulullah ‘Kullu
bid’atin dhalaalah’ (setiap bida’ah itu sesat).
1.
Bid’ah itu menyamai hal-hal yang
disyari’atkan, karena bid’ah itu disandarkan dan dinisbatkan kepada agama.
Berbeda dengan maksiat, ia bertentangan dengan hal yang disyariatkan, karena
maksiat itu berada di luar agama, serta tidak dinisbatkan padanya, kecuali jika
maksiat ini dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, maka
terkumpullah dalam maksiat semacam ini, maksiat dan bid’ah dalam waktu yang
sama.
2.
Bid’ah merupakan pelanggaran yang
sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat
syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini
kesempurnaan syari’at. Menuduh bahwa syari’at ini masih kurang dan membutuhkan
tambahan serta belum sempurna. Sedangkan maksiat, padanya tidak ada keyakinan
bahwa syari’at itu belum sempurna, bahkan pelaku maksiat meyakini dan mengakui
bahwa ia melanggar dan menyalahi syariat.
3.
Maksiat merupakan pelanggaran yang
sangat besar ditinjau dai sisi melanggar batas-batas hukum Allah, karena pada
dasarnya dalam jiwa pelaku maksiat tidak ada penghormatan terhadap Allah,
terbukti dengan tidak tunduknya dia pada syari’at agamanya. Sebagaimana
dikatakan, “Janganlah engkau melihat kecilnya kesalahan, tapi lihatlah siapa
yang engkau bangkang”. Berbeda dengan bid’ah, sesungguhnya pelaku bid’ah
memandang bahwa dia memuliakan Allah, mengagungkan syari’at dan agamanya. Ia
meyakini bahwa ia dekat dengan tuhannya dan melaksanakan perintahNya. Oleh
sebab itu, ulama Salaf masih menerima riwayat ahli bid’ah, dengan syarat ia
tidak mengajak orang lain untuk melakukan bid’ah tersebut dan tidak menghalalkan
berbohong. Sedangkan pelaku maksiat adalah fasiq, gugur keadilannya, ditolak
riwayatnya dengan kesepakatan ulama.
4.
Maka sesungguhnya pelaku maksiat
terkadang ingin taubat dan kembali, berbeda dengan ahli bid’ah, sesungguhnya
dia meyakini bahwa amalanya itu adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan kepada
Allah, -pent), terutama ahli bid’ah kubra (pelaku bid’ah besar), sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaan yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik…” [Faathir : 8]
Sufyan At-Tsauri berkata : “Bid’ah itu lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat bisa ditaubati dan bid’ah tidak (idharapkan) taubat darinya.
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Iblis berkata, “Saya mencelakakan Bani Adam dengan dosa dan mereka membinasakanku dengan istighfar dan Laailaha illalah. Tatkala saya melihat itu, maka saya menebar hawa nafsu di antara mereka. Maka mereka berbuat dosa dan tidak bertaubat, karena mereka beranggapan bahwa mereka berbuat baik.
“Artinya : Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaan yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik…” [Faathir : 8]
Sufyan At-Tsauri berkata : “Bid’ah itu lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat bisa ditaubati dan bid’ah tidak (idharapkan) taubat darinya.
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Iblis berkata, “Saya mencelakakan Bani Adam dengan dosa dan mereka membinasakanku dengan istighfar dan Laailaha illalah. Tatkala saya melihat itu, maka saya menebar hawa nafsu di antara mereka. Maka mereka berbuat dosa dan tidak bertaubat, karena mereka beranggapan bahwa mereka berbuat baik.
5.
Jenis bid’ah besar dari maksiat, karena
fitnah ahli bid’ah (mubtadi) terdapat dalam dasar agama, sedangkan fitnah
pelaku dosa terdapat dalam syahwat. Dan ini bisa dijadikan sebuah kaidah bahwa
jika salah satu dari bid’ah atau maksiat itu tidak dibarengi qarinah-qarinah
(bukti atau tanda) dan keadaan yang bisa memindahkan hal itu dari kedudukan
asalnya.
Diantara contoh bukti-bukti dan
keadaan tersebut adalah : Pelanggaran –baik maksiat atau bid’ah- bisa membesar
jika diiringi praktek terus menerus, meremehkannya, terang-terangan, menghalkan
atau mengajak orang lain untuk melakukannya. Ia juga bisa mengecil bahayanya
jika dibarengi dengan pelaksanaan yang sembunyi-sembunyi, terselubung tidak
terus menerus, menyesal dan berusaha untuk taubat, berusaha untuk tidak
mengulanginya perbuatannta itu lagi.
Contoh lain : Pelanggaran itu dengan sendirinya bisa membesar dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan. Jika bahayanya kembali kepada dasar-dasar pokok agama, maka hal ini lebih besar daripada penyimpangan yang bahayanya hanya kembali kepada hal-hal parsial dalam agama.
Contoh lain : Pelanggaran itu dengan sendirinya bisa membesar dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan. Jika bahayanya kembali kepada dasar-dasar pokok agama, maka hal ini lebih besar daripada penyimpangan yang bahayanya hanya kembali kepada hal-hal parsial dalam agama.
Begitu pula pelanggaran yang
bahayanya berhubungan dengan agama lebih besar daripada pelanggaran yang
bahayanya yang berhubungan dengan jiwa.
Jadi sebenarnya untuk mengkomparasikan antara bid’ah dengan maksiat kita harus memperhatikan situasi dan kondisi, maslahat dan bahayanya, serta akibat yang dtimbulkan sesudahnya, karena memperingatkan bahaya bid’ah atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya tidak seyogyanya menimbulkan –sekarang atau sesudahnya- sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan maksiat itu sendiri, sebagaimana ketika kita memperingatkan bahawa maksiat atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya, tidak seyogyanya mengakibatkan –sekarang atau sesudahnya-sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan bid’ah itu sendiri.
Jadi sebenarnya untuk mengkomparasikan antara bid’ah dengan maksiat kita harus memperhatikan situasi dan kondisi, maslahat dan bahayanya, serta akibat yang dtimbulkan sesudahnya, karena memperingatkan bahaya bid’ah atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya tidak seyogyanya menimbulkan –sekarang atau sesudahnya- sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan maksiat itu sendiri, sebagaimana ketika kita memperingatkan bahawa maksiat atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya, tidak seyogyanya mengakibatkan –sekarang atau sesudahnya-sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan bid’ah itu sendiri.
D. Tingkatan Bid’ah
Kita
tidak ragu lagi bahwa bid’ah memiliki beberapa tingkatan, yaitu dua tingkatan.
Bid’ah yang muharramah, yaitu bid’ah yang tidak sampai menyebabkan pelakunya
menjadi kafir. Yang kedua: Bid’ah Mukaffirah (yang bisa membuat pelakunya
menjadi kafir). Maka bid’ah itu bisa jadi muharramah dan bisa jadi mukaffirah.
Contohnya : ketika kita mengatakan bahwa pengkhususan sebagian imam dengan
melakukan qunut pada shalat Subuh dengan membaca: Allahummahdina fiiman hadaita
adalah bid’ah. Ini memang bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka. Ini adalah bid’ah Muharramah, tetapi apakah sama
bid’ah ini dengan bid’ah thawaf di kuburan?! Apakah sama dengan bid’ah orang
yang meminta bantuan dan pertolongan kepada selain Allah? Mereka mengatakan:
Wahai Rifa’i tolonglah aku! dan Wahai Jailani tolonglah aku ?! Ini adalah
bid’ah dan yang tadi juga bid’ah. Tetapi yang awal adalah bid’ah yang muharramah,
yang pelakunya akan menjadi fasiq, sedangkan yang kedua bid’ah mukaffarah, yang
pelakunya bisa menjadi kafir. Dan kaidah pengkafiran itu adalah: Setelah
ditegakkan hujjah kepada pelakunya dan kemudian dia melakukan sikap menentang,
sebagaimana yang telah kita terangkan sebelumnya, adapun bid’ah yang membawa
pelakunya kepada kekafiran, tidak berarti pelakunya pasti menjadi kafir bila
dia melakukannya, kecuali bila telah ditegakkan hujah kepadanya kemudian dia
menentang.
- Bahaya Bid’ah
1.
Anggapan baik terhadap bid’ah berarti
menganggap Islam seolah-olah belum sempurna
Syari’at
islam telah sempurna, sehingga tidak memerlukan tambahan ataupun pengurangan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah ku ridhoi islam
sebagai agamamu.”( Qs. Al-Maidah: 3) Dan Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam
tidaklah wafat kecuali telah menjelaskan seluruh perkara dunia dan agama yang
dibutuhkan. Jika demuikian, maka maksud perkataan atau perbuatan bid’ah dari
pelakunya adalah bahwa agama ini seakan-akan belum sempurna, sehingga perlu
untuk dilengkapi, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala belum terdapat di dalamnya.
Ibnu
Majisyun berkata : “Aku mendengar Imam malik berkata: “Barang siapa yang
membuat bid’ah dalam islam dan melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka
Sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Nabi Muhammad rtelah berkhianat, karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman Dalam Al-qur’an , “pada hari ini
telah aku sempurnakan bagimu agamu.” Maka apa yang pada hari itu tidak termasuk
sebagai agama maka pada hari inipun bukan termasuk Agama.”( Asy-syatibi dalam
Al-I’tisam).
2.
Amalan bid’ah tertolak (tidak di
terima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala )
Nabi
Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang membuat hal yang baru
dalam urusan agama kami ini sesuatu yang tidak ada didalamnya, maka ia
tertolak.” (Bukhari Muslim). Sebagaimana maklum bahwa syarat di terimanya amalan
adalah: ikhlas dan sesuai dengan sunnah.
3.
Bid’ah mengikuti hawa nafsu
Sebagaimana
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah: “para pelaku bid’ah adalah orang-orang
yang mengikuti hawa nafsu dan syubhat. Mereka mengikuti hawa nafsunya dalam
sesuatu yang di sukai dan di benci, mereka menetapkan hukum dengan prasangka
dan syubhat. Mereka mengikuti prasangka dan apa yang di inginkan nafsunya,
padahal telah datang petunjuk dari Tuhan Subhanahu wa Ta’ala mereka. Jika
seseorang menggunakan hawa nafsunya dalam masalah agama maka sungguh dia adalah
orang yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dan siapakah yang lebih
sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapatkan
petunjuk dari Allah. “(Al-Qashash:50)Bid’ah lebih di cintai oleh iblis dari
pada perbuatan maksiat
4.
Bid’ah melenyapkan Sunnah
Seperti
apa yang di katakan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu wa Anhu: ” Tidaklah datang
suatu tahun pada Manusia melainkan mereka membuat bid’ah dan mematikan sunnah,
hingga bentuk-bentuk bid’ah menjadi hidup dan sunnah menjadi mati.”
Hasan
bin ‘Athiyyah : “Tidaklah suatu kaum membuat bid’ah dalam agama mereka
melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut dari mereka sunnah yang
sepadan dengan nya, kemudian tidak akan mengembalikan kepada mereka sampai hari
kiamat.” betapa indahnya yang dikatakan oleh sahabat agung Ibnu mas’ud
Radhiallahu wa Anhu: “Hendaklah kamu menghindari apa yang baru di buat Manusia
dari bentuk-bentuk bid’ah. Sebab agama tidak akan hilang dari hati seketika.
Tetapi syaithan membuat bid’ah baru untuknya, hingga iman keluar dari hati, dan
hampir-hampir Manusia meninggalkan apa yang telah di tetapkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala kepada mereka berupa shalat, puasa, halal dan haram, sementara mereka
masih berbicara tentang Tuhan Yang Mahamulia. Maka siapa yang mendapatkan masa
itu hendaknya dia lari. “Ia di tanya, “Wahai Abu Abdurrahman , kemana larinya ?
“ia menjawab. “Tidak kemana-mana. Lari dengan hati dan agamanya. Janganlah
duduk besama-sama dengan ahli bid’ah.(Al-Hajjah I/312 oleh Al-Ashbahani)
5. Bid’ah
termasuk
sikap ghuluw (melampaui batas syari’at)
Imam
Al-Bukhari berkata dalam kitab shahihnya, Kitab Al-I’tisham bil kitab wa
sunnah: “Bab: Apa yang dilarang tentang berlebih-lebihan, perselisihan di dalam
ilmu, ghuluw di dalam agama dan bid’ah-bid’ah, berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala : ” Wahai Ahli kitab janganlah kamu melampauibatas dalam
agamamu, dan janganlah kamu mengatakanterhadaap Allah kecuali yang benar.”
(An-Nisa’:171)Bid’ah menyebabkan perpecahan
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “dan bahwa (yang kami peritahkan) ini adalah
jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan (subul) itu mencerai beraikan kamu dari
jalanNya.”(Al-An’am 153)
Imam
Asy-Syathibi berkata: “sirhathal mustaqim (jalan yang lurus) adalah jalan Allah
yang dia serukan, yaitu As-Sunnah. Sedangkan As-Subul (jalan-jalan lain) adalah
jalan-jalan orang-orang yang berselisih. Yang menyimpang dari jalan yang lurus.
Mereka adalah para ahli bid’ah”(Al-I’tisham I/76 tahqiq Syaikh Salim Al-Hilali)
6. Pelaku
bid’ah semakin jauh dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala
Diriwayatkan
dari Al-hasan bahwa dia berkata : “shahibu (pelaku) bid’ah, tidaklah dia
menambah kesungguhan, puasa, dan shalat, kecuali dia semakin jauh dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dan
dari Ayyub As-Sikhtiyani, dia berkata: “tidaklah pelaku bid’ah menambah
kesungguhan kecuali dia semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .”
Pernyatan tersebut diisyaratkan kebenarannya oleh sabda Rasulullah rtentang
khawarij: “satu kaum akan keluar di dalam ummat ini yang kamu meremehkan shalat
kamu di bandingkan dengan shalat mereka, mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak
melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana melesatnya
anak panah dari sasarannya.”(HR. Bukhari)
Asy-Syatibi
berkata: “pertama beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pent.)
menjelaskan tentang kesungguhan mereka, kemudian beliau menjelaskan tentang
jaunya mereka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .(Al-I’tisham I/156).
7.
Menangguh dosa bid’ah dan dosa-dosa
orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.
Dalam
hal ini Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “Barang siapa yang menyeru
kepada petunjuk , maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala yang
mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan
barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa-dosa
orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun.”(HR. Muslim)
Sedangkan
bid’ah merupakan kesesatan sebagaimana yang telah di katakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Inginkah ahli bid’ah menanggung seluruh dosa
orang-orang yang mengiutinya sampai hari kiamat?! Tidakkah hadis Rasulullah
Shallallahu ‘Alahi wa Sallam ini menghentikan mereka!?.
8. Pelaku
bid’ah akan di usir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pada
hari kiamat
Rasululah
Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Sesung-guhnya aku mandahului dan
menanti kamu di telaga. Barang siapa yang melewatiku niscaya dia minum, dan
barang siapa yang minum niscaya dia tidak akan haus selama-lamanya.
Sesungguhnya sekelompok orang akan mendatangiku, aku mengenal mereka, dan
mereka mengenalku, kemudian dihalangi antara aku dengan mereka, maka aku
berkata: “Sesungguhnya mereka dari pengikutku” tetapi di jawab “Sesungguhnya
engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan secara baru setelahmu.” Maka
aku (Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam) berkata: “jauh ! jauh!! Bagi
orang-orang yang merubah agama setelahku.” (HR. Bukhari -Muslim) Pelaku bid’ah
diancam dengan laknat Alloh.
- Cara Menghadapi Bid’ah
Menghadapai
bid’ah yang menyesatkan ini, kita wajib melakukan sesutu untuk menghentikannya.
Cara efektif dalam menghadapi bid’ah adalah lewat bentuk-bentuk
pengingkaran/penolakan dengan hikmah (bijak), bashirah
(ketajaman mata hati), dialog yang sehat dan metode-metode lain yang tidak
menimbulkan bid’ah yang lebih besar dari yang hendak dihapuskan.
Metode
efektif menghadapi bid’ah adalah metode yan dapat diukur tingkat pencapaiannya
dengan biaya yang paling ringan dan korban yang paling minimal. Sarana dan cara
menghadapi bid’ah tidak baku dan kaku, tetapi berkembang sesuai dengan
situasi, ruang dan waktu bid’ah itu muncul.
Rasulullah
saw telah memberikan teladan dalam menghadapi bid’ah dengan hikmah
dan bashirah agar tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar lagi.
Dalam ruang dan waktu yang berbeda diperlukan sikap yang berbeda. Rasulullah
membedakan sikapnya dalam menghadapi bid’ah di Makkah, di Madinah dan di Makkah
seusai Fathu Makkah. Hal ini bisa kita lihat dari sikap Nabi terhadap
berhala yang ada di sekitar Ka’bah, antara sebelum hijrah dan sesudah fathu
Makkah. Dan adakah yang lebih bid’ah dibandingkan dengan berhala di
sekeliling Ka’bah.
Selain
itu hanya iman yang bisa mengatasi berbagai Bid’ah dan semua kemelut dalam
kehidupan ini,karena ilmu dan teknologi yang canggih sekalipun tidak berdaya
menghadapi kepentingan – kepentingan duniawi.Kegelisahan,keraguan,kecurigaan
hanya akan hilang oleh iman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
- Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid’ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak.
- Analisis tentang Bid’ah dapat dipergunakan untuk menambah pengetahuan tentang agama islam bagi masyarakat.
- Berkaitan dengan moral dan peran manusia,maka penyebab yang paling dominan sebagai penyebab terjadinya Bid’ah yaitu tidak adanya pemahaman dan komitmen agama yang baik dikalangan masyarakat.
- Iman kita dapat dirusak oleh perbuatan-perbuatan yang mendekati Bid’ah.
- Iman memiliki fungsi dan hikmah yang besar bagi kehidupan untuk melenyapkan Bid’ah.
B. Saran
- Setelah disadari bahwa Bid’ah kesalahan yang besar yang menyalahi hukum-hukum Allah dan tidak diajarkan dalam agama Islam maka hendaklah masyarakat mampu meramu pendidikan agama Islam yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diajarkan dalam agama islam.
- Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca akan lebih dapat mencari tahu tentang bid’ah yang diwajibkan dan diharamkan.
- Masyarakat hendaknya mampu mengadakan penelitian-penelitian sederhana yang bertujuan untuk menemukan formula-formula baru bagi system pembelajaran agam islam yang lebih inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan tentang agama islam yang menambah dan memperkuat iman kita terhadap Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Asyur,Musthafa.1995.Amalan
baru dalam pandangan iman as suyutr.Surabaya:Darul Hikmah.
Dr.Muhammad.2006Dzikir
Berjamaah antara sunah dan bid’ah.Solo:Daru alhidayah an-Nabawi
Hasan,ali.2000.Membedah
akar bid’ah.Jakarta Timur:Pustaka Al Kautsar.
Shobron
Sudarno.2005.Studi Islam 3.Surakarta : LPD,UMS.
Zuhdi Najmuddin.M. dan
Shobahiya Mahasri.2006.Ber-Islam.Surakarta : LPD,UMS.
Shobahiya Mahasri dan
Rosyadi Imron.2005.Studi Islam 1.Surakarta : LPD,UMS.
http://www.geogle.com
http://majalahnikah.com/index.php?option=com_content&viewarticle&id=14:kedudukan-bidah-dan-maksiat-dalam-agama&catid
=18:shirathalmustaqim&Itemid=28
http://datakristen.blogspot.com/
http://singgihcongol.wordpress.com/artikel-2/makalah-bidah/#comment-41
http://masayine.blogspot.com/2011/04/makalah-bidah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar