2012-12-23

Makalah Tentang Islam, Bid’ah dan Bahayanya bagi Umat Islam

Makalah Studi Islam 3 dengan Tema
Islam, Bid’ah dan Bahayanya bagi Umat Islam
Makalah Ini untuk Memenuhi Kelengkapan Tugas Studi Islam 3

Dosen Pengampu : DR. Tjipto Subadi







Disusun Oleh :
Taufik Fajar Gumilang
A410100023


PROGRAM STUDI MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012






BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Islam memberikan tuntunan kepada manusia dalam hal pergaulan, bahwa pergaulan itu hendaknya didasarkan atas moral atau budi pekerti yang luhur, bukan atas dasar kemuliaan status sosial maupun materi dan sesungguhnya dalam kehidupan ini sangat dibutuhkan adanya pengenalan antara manusia yang satu dengan yang lain Dengan demikian tidak cukup bagi seseorang dalam beribadah hanya mengetahui sunnah saja, akan tetapi juga harus mengenali lawannya yakni bid’ah, seperti dalam hal keimanan tidak cukup mengerti tauhid saja tanpa mengetahui syirik. Alloh subhanahu wa ta’ala telah mengisyaratkan hal ini dalam firmanNya (yang artinya), “Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al Baqoroh: 256). Tak dapat disangkal lagi bila fenomena yang ada menunjukkan tak sedikit dari kaum muslimin yang begitu hobi melakukan praktik bid’ah dan khurafat, yang lebih mengenaskan bid’ah dan khurafat itu dikemas sedemikian rupa agar tampak seolah-olah suatu ibadah yang disyariatkan, lebih tampil menarik dan mampu memikat perhatian banyak orang.
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan. Maka barang siapa yang berpaling dari Al-Qur’an dan Sunnah pasti akan terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid’ah. Bid’ah adalah suatu kebodohan terhadap hukum-hukum Ad-Dien, semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam, semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam Artinya: Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorangpun ulamapun, maka manusia mangangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya sesat dan menyesatkan. Bid’ah juga sesuatu yang berpaling dari Al-qur’an dan Sunnah dan mengikuti hawa nafsu, firman Allah dalam surah Al-Jatsiyah : 23 yang artinya : “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai illahnya dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengarannya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Alloh (membiarkannya sesat)”.
Bid’ah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Alloh dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat. Menuduh Rasulullah Muhammad SAW mengkhianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid’ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaidah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak, namun masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid’ah namun bid’ah secara bahasa bukan definisi bid’ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakikatnya bid’ah hasanah.
Dan bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata dari hawa nafsu yang diikuti. Ashabiyah terhadap pendapat tertentu yaitu dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq. Inilah keadaan orang-orang saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila meraka diajak untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Qur’an dan Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka. Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid’ah yakni orang-orang yang menyerupai orang-orang kafir. Hal-hal inilah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid’ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau minggu untuk amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan,  mengadakan perkumpulan hari suka dan duka dan lain sebagainya.
Dan banyak perkataan terlontar, dari orang yang belum paham (atau mungkin salah paham) tentang bid’ah. Inti perkataannya menunjukkan bahwa bid’ah itu sesuatu yang boleh dikerjakan. Untuk itulah pada makalah ini penulis akan membahas berbagai kerancuan yang sering terdengar di kalangan masyarakat dan melalui makalah ini diharapkan akan dihasilkan suatu kajian tentang “ BID’AH”.

B.      Rumusan  Masalah
Berdasarkan latar belakang pemasalahan di atas, maka Penulis dalam menyusun makalah ini dapat mengambil beberapa permasalahan, yaitu
1.      Apa yang dimaksud “Bid’ah”?
2.      Bagaimana sesuatu permasalahan, hal, tindakan atau perilaku bisa dikatakan “Bid’ah”?
3.      Bagaimana pesan yang disampaikan dalam makalah yang disusun oleh Penulis tentang “Bid’ah” ini?
4.      Bagaimana tanggapan dan pendapat masyarakat ataupun para ulama tentang “Bid’ah”?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian bid’ah
2.      Dapat mengetahui sesuatu permasalahan, hal, tindakan atau perilaku yang bisa dikatakan “Bid’ah”
3.      Mengetahui pesan yang disampaikan dalam makalah yang disusun oleh Penulis
4.      Untuk mengetahui tanggapan dan pendapat masyarakat ataupun para ulama tentang “Bid’ah,




BAB  II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian  Bid’ah
Bid’ah diambil dari kata bida’ yaitu al ikhtira atau mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya atau sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallhu’alaihi wa sallam, tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang. Bid’ah menurut istilah (syar’i/terminologi) adalah : sesuatu yang diada-adakan menyerupai syariat tanpa ada tuntunannya dari Rasulullah yang diamalkan seakan-akan bagian dari ibadah. Nabi menilainya sebagai kesesatan dalam agama. Hukum bid’ah adalah haram. Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Firman Alloh yang artinya Artinya: “Alloh yang membid’ahkan (langit dan bumi)....”. (Q.S.Al-Baqarah: 117). Yakni yang mengadakan atau menciptakannya dengan rupa bentuk yang belum ada contoh yang mendahuluinya, yang seindahnya. Dalam kitab Shahih Muslim bi Sarah Imam Nawawi dijelaskan “Dan yang dimaksud bid’ah, menurut ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh terlebih dahulu”. Sedangkan jika ditujukan dalam hal ibadah pengertian bid’ah yakni “Suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan untuk bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ umat terdahulu”.
Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma umat terdahulu, baik keyakinannya atau peribadahannya atau ia bermakna lebih umum yaitu apa-apa yang tidak di syariatkan oleh Allah maka yang demikian itu adalah bid’ah. Bid’ah dalam syari’ah adalah apa yang diada-adakan yang tidak ada perintah Rasul Shallallahu’alaihi wa sallam. Membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti, sesuatu pekerjaan yang sebelumnya belum pernah dikerjakan, itu disebut bid’ah. Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam. Dalam hal ini Rasūlullôh Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada ada tuntunannya dariku, maka tertolak” (HR Bukhari Muslim) dan hadits : ”Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan neraka tempatnya.” Adapun menurut etimologi (bahasa), makna bid’ah adalah al-ikhtira’, sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contohnya sebelumnya. Seperti firman Alloh : ”Allôhu Badî’us Samâwât..” (Allôh-lah yang menciptakan langit, maksudnya mengadakan langit tanpa ada contoh sebelumnya). Termasuk makna etimologi ini adalah, ucapan Sahabat ’Umar : ”sebaik-baik bid’ah adalah ini” ketika beliau memerintahkan untuk sholat tarawih berjama’ah…
Secara umum bid’ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama atau ibadah. Maka inilah makna bid’ah yang sesungguhnya. Bid’ah dalam agama memecah belah dan menghancurkan persatuan umat. Bid’ah dalam agama juga mematikan sunnah. Pembuat dan pelaku bid’ah mengangkat dirinya sebagai pembuat syariat baru dan sekutu bagi Allah. Pembuat bid’ah memandang agama tidak lengkap dan bertujuan melengkapinya. Setelah mengetahui bahwa begitu bahayanya bid’ah tersebut maka seharusnyalah kita menghindari dari hal tersebut diatas. Maka dari itu tetaplah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma sahabat. Firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 153 yang artinya: Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lainnya). Sebab jalan-jalan itu akan mencerai beraikan kau dari jalan-nya. Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu agar kamu bertaqwa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”. Hukum dari bid’ah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini beberapa poin penting mengenai bid’ah :
1.      Makna bid’ah secara bahasa diartikan mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
2.      Makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
3.      Tiga unsur yang selalu ada pada bid’ah adalah; (a) mengada-adakan, (b) perkara baru tersebut disandarkan pada agama, (c) perkara baru tersebut bukan bagian dari agama.
4.      Setiap bid’ah adalah sesat.

B.       Macam-macam bid’ah
  1. Izzu bin Abdu Assalam dalam bukunya Qawaidu Alahkam fi mashalihi alanam hal:204, ia menganggap bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW adalah Bid’ah yang terbagi menjadi lima bagian, Bid’ah Wajiba (Wajib), Bid’ah Muharramah (Haram), Bid’ah Makruha (Makruh), Bid’ah Mandubah (Sunnah) dan Bid’ah Mubaha (boleh) dan untuk mengetahuinya maka bidah tersebut haruslah diukur berdasarkan Syar’i, apabila bid’ah tersebut termasuk ke dalam sesuatu yang diwajibkan oleh syar’i berarti bida’ah itu wajib, apabila termasuk perbuatan yang diharamkan berarti haram dan seterusnya. Defenisi ini kemudian diperkuat oleh Imam Nawawi dalam Fath Albari karangan Ibnu hajar hal:394, bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak pernah ada pada zaman Nabi adalah bid’ah namun ada yang terpuji dan ada pula yang tercela
  2. Imam Nawawi dalam kitabnya Alazkar, mengatakan bahwa bid’ah itu terbagi menjadi:
a.         Bid’ah Wajiba; Contoh : mempelajari ilmu Nahwu untuk lebih memahami kalamullah dan sunnah rasul adalah sesuatu yang wajib dipelajari dan untuk menjaga syariat maka bid’ah itu adalah wajib.
b.         Muharramah; Contoh : Mazhab-mazhab yang sesat, seperti Qadariyah, jabariah dan Khawarij, juga termasuk menciptakan sesuatu yang mendatangkan mudharat bagi diri dan orang lain.
c.         Mandubah; Contoh : Bid’ah Mandubah: Pembangunan sekolah, jembatan, shalat tarawih berjamaah di mesjid dan lain-lain.
d.        Mubaha ; Contoh Bid’ah mubaha: menambah kelezatan makanan dan minuman serta memperindah pakaian.
Dan beliau pun berbicara mengenai berjabat tangan setelah menunaikan shalat, dimana berjabat tangan adalah sunnah pada setiap kali bertemu, namun orang-orang terbiasa dengan berjabat tangan dan menjadikannya adat hanya pada setiap kali selesai shalat subuh dan ashar saja, padahal tidak mempunyai dasar dalam syara’, namun tidak apa-apa karena asal hukum berjabatan tangan adalah sunnah.
  1. Dalam kitab Annihayah,Ibnu Atsir berkata: Bid’ah itu terbagi menjadi dua yaitu Bid’ah hasanah dan dhalalah, jika bertentangan dengan perintah Allah dan rasulnya maka bid’ah itu termasuk golongan sesat dan tercela namun jika sesuai dengan nilai-nilai yang telah dianjurkan oleh agama maka bid’ah itu tergolong kedalam bid’ah yang terpuji, bahkan menurut beliau, bid’ah hasanah pada dasarnya adalah sunnah. hal serupa pun dikemukakan oleh Ibnu Mandzur. Di dalam Alquran Allah berfirman:”Yasalunaka maaza uhilla lahum qul Uhilla lakumu Atthayyibat” yang mengisyaratkan bahwa sesuatu yang baru selama tidak bertentangan dengan agama meskipun tidak ada dasar hukumnya adalah baik dan terpuji dan mendapat pahala, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:”Man sanna sunnatan hasanatan kana lahu ajruha wa ajru man ‘amila biha wa man sanna sunnatan sayyiatan kana ‘alaihi wizruha wa wizru man ‘amila biha”, barang siapa yang berbuat sesuatu yang baik maka baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya dan barang siapa yang berbuat sesuatu yang buruk maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang berbuat mengikutinya. Hal serupa pernah diucapkan oleh Umar ra:”Ni’matil bid’atu hazihi”, alangkah indahnya bid’ah ini, karena merupakan perbuatan baik sehingga termasuk kedalam golongan bid’ah yang baik dan terpuji meskipun Rasulullah SAW tidak pernah melakukan yang demikian yaitu melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah dan juga pada zaman Abu bakr, Umar ra lah yang mengumpulkan orang-orang dan menyunatkan shalat tarawih secara berjamaah di mesjid dan hal ini beliau namakan bid’ah “Ni’matil bid’atu hazihi”, yang menunjukan bahwa hal itu pada dasarnya adalah Sunnah berdasarkan sabda Rasul SAW:”Alaikum bisunnati wa sunnati alkhulafa Arrasyidina min ba’di”, dan Sabdanya yang lain:”Iqtadauw billazina min ba’di, Abi bakr wa umar wa ali”, hal ini mengabaikan hadis lain yaitu “Kullu muhdatsatin bid’at dan Kullu bid’atin Dhalalah”, karena yang dimaksud dengan hadis ini adalah apa-apa yang baru yang bertentangan dengan Syar’i serta tidak sesuai dengan agama.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi hasanah dan sayyiah sebagaimana dapat dilihat dari perkataan Imam Syafi’i dan para pengikutnya seperti Izzu bin Abdu Assalam, An Nawawi dan abu Syamah.
Para ‘ulama ahli ushul fiqih telah sepakat menetapkan pembagian bid’ah itu kedalam dua bagian yaitu :
1.      Bid’ah ‘Amm (umum) ;
Macam2nya : Fi’liyyah dan Tarkiyyah, I’tiqadiyyah dan ‘Amaliyyah, Zamaniyyah, Makaniyyah dan Haliyyah, Haqiqiyyah dan Idhafiyyah, Kulliyyah dan Juz-iyyah, ‘Ibadiyyah dan ‘Adiyyah. (masing2 ada penjelasannya).
2.      Bid’ah Khash (khusus):
Macam2nya : Bid’ah wajibah, Bid’ah Mandubah, Bid’ah Mubahah, Bid’ah Muharramah, Bid’ah Makruhah.
Jadi ulama sepakat bahwa ciri amal ibadah agar diterima oleh Allah adalah Meniatkan amal perbuatan semata demi Allah Subhanahu wa ta’ala dan ikhlas kepada-Nya dan amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
  1. Sisi  Perbedaan  Antara  Bid’ah Dengan Maksiat
            Dasar larangan maksiat biasanya dalil-dalil yang khusus, baik teks wahyu (Al-Qur’an , As-Sunnah) atau ijma’ atau qiyas. Berbeda dengan bid’ah, bahwa dasar larangannya –biasanya dalil-dalil yang umum dan maqaashidusysyarii’ah serta cakupan sabda Rasulullah ‘Kullu bid’atin dhalaalah’ (setiap bida’ah itu sesat).
1.      Bid’ah itu menyamai hal-hal yang disyari’atkan, karena bid’ah itu disandarkan dan dinisbatkan kepada agama. Berbeda dengan maksiat, ia bertentangan dengan hal yang disyariatkan, karena maksiat itu berada di luar agama, serta tidak dinisbatkan padanya, kecuali jika maksiat ini dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, maka terkumpullah dalam maksiat semacam ini, maksiat dan bid’ah dalam waktu yang sama.
2.       Bid’ah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syari’at. Menuduh bahwa syari’at ini masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Sedangkan maksiat, padanya tidak ada keyakinan bahwa syari’at itu belum sempurna, bahkan pelaku maksiat meyakini dan mengakui bahwa ia melanggar dan menyalahi syariat.
3.      Maksiat merupakan pelanggaran yang sangat besar ditinjau dai sisi melanggar batas-batas hukum Allah, karena pada dasarnya dalam jiwa pelaku maksiat tidak ada penghormatan terhadap Allah, terbukti dengan tidak tunduknya dia pada syari’at agamanya. Sebagaimana dikatakan, “Janganlah engkau melihat kecilnya kesalahan, tapi lihatlah siapa yang engkau bangkang”. Berbeda dengan bid’ah, sesungguhnya pelaku bid’ah memandang bahwa dia memuliakan Allah, mengagungkan syari’at dan agamanya. Ia meyakini bahwa ia dekat dengan tuhannya dan melaksanakan perintahNya. Oleh sebab itu, ulama Salaf masih menerima riwayat ahli bid’ah, dengan syarat ia tidak mengajak orang lain untuk melakukan bid’ah tersebut dan tidak menghalalkan berbohong. Sedangkan pelaku maksiat adalah fasiq, gugur keadilannya, ditolak riwayatnya dengan kesepakatan ulama.
4.      Maka sesungguhnya pelaku maksiat terkadang ingin taubat dan kembali, berbeda dengan ahli bid’ah, sesungguhnya dia meyakini bahwa amalanya itu adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan kepada Allah, -pent), terutama ahli bid’ah kubra (pelaku bid’ah besar), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaan yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik…” [Faathir : 8]
Sufyan At-Tsauri berkata : “Bid’ah itu lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat bisa ditaubati dan bid’ah tidak (idharapkan) taubat darinya.
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Iblis berkata, “Saya mencelakakan Bani Adam dengan dosa dan mereka membinasakanku dengan istighfar dan Laailaha illalah. Tatkala saya melihat itu, maka saya menebar hawa nafsu di antara mereka. Maka mereka berbuat dosa dan tidak bertaubat, karena mereka beranggapan bahwa mereka berbuat baik.
5.      Jenis bid’ah besar dari maksiat, karena fitnah ahli bid’ah (mubtadi) terdapat dalam dasar agama, sedangkan fitnah pelaku dosa terdapat dalam syahwat. Dan ini bisa dijadikan sebuah kaidah bahwa jika salah satu dari bid’ah atau maksiat itu tidak dibarengi qarinah-qarinah (bukti atau tanda) dan keadaan yang bisa memindahkan hal itu dari kedudukan asalnya.
            Diantara contoh bukti-bukti dan keadaan tersebut adalah : Pelanggaran –baik maksiat atau bid’ah- bisa membesar jika diiringi praktek terus menerus, meremehkannya, terang-terangan, menghalkan atau mengajak orang lain untuk melakukannya. Ia juga bisa mengecil bahayanya jika dibarengi dengan pelaksanaan yang sembunyi-sembunyi, terselubung tidak terus menerus, menyesal dan berusaha untuk taubat, berusaha untuk tidak mengulanginya perbuatannta itu lagi.
Contoh lain : Pelanggaran itu dengan sendirinya bisa membesar dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan. Jika bahayanya kembali kepada dasar-dasar pokok agama, maka hal ini lebih besar daripada penyimpangan yang bahayanya hanya kembali kepada hal-hal parsial dalam agama.
            Begitu pula pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengan agama lebih besar daripada pelanggaran yang bahayanya yang berhubungan dengan jiwa.
Jadi sebenarnya untuk mengkomparasikan antara bid’ah dengan maksiat kita harus memperhatikan situasi dan kondisi, maslahat dan bahayanya, serta akibat yang dtimbulkan sesudahnya, karena memperingatkan bahaya bid’ah atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya tidak seyogyanya menimbulkan –sekarang atau sesudahnya- sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan maksiat itu sendiri, sebagaimana ketika kita memperingatkan bahawa maksiat atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya, tidak seyogyanya mengakibatkan –sekarang atau sesudahnya-sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan bid’ah itu sendiri.
D.    Tingkatan Bid’ah
Kita tidak ragu lagi bahwa bid’ah memiliki beberapa tingkatan, yaitu dua tingkatan. Bid’ah yang muharramah, yaitu bid’ah yang tidak sampai menyebabkan pelakunya menjadi kafir. Yang kedua: Bid’ah Mukaffirah (yang bisa membuat pelakunya menjadi kafir). Maka bid’ah itu bisa jadi muharramah dan bisa jadi mukaffirah. Contohnya : ketika kita mengatakan bahwa pengkhususan sebagian imam dengan melakukan qunut pada shalat Subuh dengan membaca: Allahummahdina fiiman hadaita adalah bid’ah. Ini memang bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Ini adalah bid’ah Muharramah, tetapi apakah sama bid’ah ini dengan bid’ah thawaf di kuburan?! Apakah sama dengan bid’ah orang yang meminta bantuan dan pertolongan kepada selain Allah? Mereka mengatakan: Wahai Rifa’i tolonglah aku! dan Wahai Jailani tolonglah aku ?! Ini adalah bid’ah dan yang tadi juga bid’ah. Tetapi yang awal adalah bid’ah yang muharramah, yang pelakunya akan menjadi fasiq, sedangkan yang kedua bid’ah mukaffarah, yang pelakunya bisa menjadi kafir. Dan kaidah pengkafiran itu adalah: Setelah ditegakkan hujjah kepada pelakunya dan kemudian dia melakukan sikap menentang, sebagaimana yang telah kita terangkan sebelumnya, adapun bid’ah yang membawa pelakunya kepada kekafiran, tidak berarti pelakunya pasti menjadi kafir bila dia melakukannya, kecuali bila telah ditegakkan hujah kepadanya kemudian dia menentang.
  1. Bahaya Bid’ah
1.         Anggapan baik terhadap bid’ah berarti menganggap Islam seolah-olah belum sempurna
Syari’at islam telah sempurna, sehingga tidak memerlukan tambahan ataupun pengurangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah ku ridhoi islam sebagai agamamu.”( Qs. Al-Maidah: 3) Dan Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam tidaklah wafat kecuali telah menjelaskan seluruh perkara dunia dan agama yang dibutuhkan. Jika demuikian, maka maksud perkataan atau perbuatan bid’ah dari pelakunya adalah bahwa agama ini seakan-akan belum sempurna, sehingga perlu untuk dilengkapi, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala belum terdapat di dalamnya.
Ibnu Majisyun berkata : “Aku mendengar Imam malik berkata: “Barang siapa yang membuat bid’ah dalam islam dan melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka Sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Nabi Muhammad rtelah berkhianat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman Dalam Al-qur’an , “pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamu.” Maka apa yang pada hari itu tidak termasuk sebagai agama maka pada hari inipun bukan termasuk Agama.”( Asy-syatibi dalam Al-I’tisam).
2.      Amalan bid’ah tertolak (tidak di terima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala )
Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang membuat hal yang baru dalam urusan agama kami ini sesuatu yang tidak ada didalamnya, maka ia tertolak.” (Bukhari Muslim). Sebagaimana maklum bahwa syarat di terimanya amalan adalah: ikhlas dan sesuai dengan sunnah.
3.      Bid’ah mengikuti hawa nafsu
Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah: “para pelaku bid’ah adalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan syubhat. Mereka mengikuti hawa nafsunya dalam sesuatu yang di sukai dan di benci, mereka menetapkan hukum dengan prasangka dan syubhat. Mereka mengikuti prasangka dan apa yang di inginkan nafsunya, padahal telah datang petunjuk dari Tuhan Subhanahu wa Ta’ala mereka. Jika seseorang menggunakan hawa nafsunya dalam masalah agama maka sungguh dia adalah orang yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah. “(Al-Qashash:50)Bid’ah lebih di cintai oleh iblis dari pada perbuatan maksiat
4.      Bid’ah melenyapkan Sunnah
Seperti apa yang di katakan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu wa Anhu: ” Tidaklah datang suatu tahun pada Manusia melainkan mereka membuat bid’ah dan mematikan sunnah, hingga bentuk-bentuk bid’ah menjadi hidup dan sunnah menjadi mati.”
Hasan bin ‘Athiyyah : “Tidaklah suatu kaum membuat bid’ah dalam agama mereka melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut dari mereka sunnah yang sepadan dengan nya, kemudian tidak akan mengembalikan kepada mereka sampai hari kiamat.” betapa indahnya yang dikatakan oleh sahabat agung Ibnu mas’ud Radhiallahu wa Anhu: “Hendaklah kamu menghindari apa yang baru di buat Manusia dari bentuk-bentuk bid’ah. Sebab agama tidak akan hilang dari hati seketika. Tetapi syaithan membuat bid’ah baru untuknya, hingga iman keluar dari hati, dan hampir-hampir Manusia meninggalkan apa yang telah di tetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka berupa shalat, puasa, halal dan haram, sementara mereka masih berbicara tentang Tuhan Yang Mahamulia. Maka siapa yang mendapatkan masa itu hendaknya dia lari. “Ia di tanya, “Wahai Abu Abdurrahman , kemana larinya ? “ia menjawab. “Tidak kemana-mana. Lari dengan hati dan agamanya. Janganlah duduk besama-sama dengan ahli bid’ah.(Al-Hajjah I/312 oleh Al-Ashbahani)
5.      Bid’ah termasuk sikap ghuluw (melampaui batas syari’at)
Imam Al-Bukhari berkata dalam kitab shahihnya, Kitab Al-I’tisham bil kitab wa sunnah: “Bab: Apa yang dilarang tentang berlebih-lebihan, perselisihan di dalam ilmu, ghuluw di dalam agama dan bid’ah-bid’ah, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : ” Wahai Ahli kitab janganlah kamu melampauibatas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakanterhadaap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’:171)Bid’ah menyebabkan perpecahan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “dan bahwa (yang kami peritahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan (subul) itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.”(Al-An’am 153)
Imam Asy-Syathibi berkata: “sirhathal mustaqim (jalan yang lurus) adalah jalan Allah yang dia serukan, yaitu As-Sunnah. Sedangkan As-Subul (jalan-jalan lain) adalah jalan-jalan orang-orang yang berselisih. Yang menyimpang dari jalan yang lurus. Mereka adalah para ahli bid’ah”(Al-I’tisham I/76 tahqiq Syaikh Salim Al-Hilali)
6.      Pelaku bid’ah semakin jauh dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala
Diriwayatkan dari Al-hasan bahwa dia berkata : “shahibu (pelaku) bid’ah, tidaklah dia menambah kesungguhan, puasa, dan shalat, kecuali dia semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan dari Ayyub As-Sikhtiyani, dia berkata: “tidaklah pelaku bid’ah menambah kesungguhan kecuali dia semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .” Pernyatan tersebut diisyaratkan kebenarannya oleh sabda Rasulullah rtentang khawarij: “satu kaum akan keluar di dalam ummat ini yang kamu meremehkan shalat kamu di bandingkan dengan shalat mereka, mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana melesatnya anak panah dari sasarannya.”(HR. Bukhari)
Asy-Syatibi berkata: “pertama beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pent.) menjelaskan tentang kesungguhan mereka, kemudian beliau menjelaskan tentang jaunya mereka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .(Al-I’tisham I/156).
7.      Menangguh dosa bid’ah dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.
Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk , maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”(HR. Muslim)
Sedangkan bid’ah merupakan kesesatan sebagaimana yang telah di katakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Inginkah ahli bid’ah menanggung seluruh dosa orang-orang yang mengiutinya sampai hari kiamat?! Tidakkah hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam ini menghentikan mereka!?.
8.      Pelaku bid’ah akan di usir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pada hari kiamat
Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Sesung-guhnya aku mandahului dan menanti kamu di telaga. Barang siapa yang melewatiku niscaya dia minum, dan barang siapa yang minum niscaya dia tidak akan haus selama-lamanya. Sesungguhnya sekelompok orang akan mendatangiku, aku mengenal mereka, dan mereka mengenalku, kemudian dihalangi antara aku dengan mereka, maka aku berkata: “Sesungguhnya mereka dari pengikutku” tetapi di jawab “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan secara baru setelahmu.” Maka aku (Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam) berkata: “jauh ! jauh!! Bagi orang-orang yang merubah agama setelahku.” (HR. Bukhari -Muslim) Pelaku bid’ah diancam dengan laknat Alloh.
  1. Cara  Menghadapi  Bid’ah
Menghadapai bid’ah yang menyesatkan ini, kita wajib melakukan sesutu untuk menghentikannya. Cara efektif dalam menghadapi bid’ah adalah lewat bentuk-bentuk pengingkaran/penolakan dengan hikmah (bijak), bashirah (ketajaman mata hati), dialog yang sehat dan metode-metode lain yang tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar dari yang hendak dihapuskan.
Metode efektif menghadapi bid’ah adalah metode yan dapat diukur tingkat pencapaiannya dengan biaya yang paling ringan dan korban yang paling minimal. Sarana dan cara menghadapi bid’ah  tidak baku dan kaku, tetapi berkembang sesuai dengan situasi, ruang dan waktu  bid’ah itu muncul.
Rasulullah saw telah memberikan teladan dalam menghadapi bid’ah dengan hikmah dan bashirah agar tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar lagi. Dalam ruang dan waktu yang berbeda diperlukan sikap yang berbeda. Rasulullah membedakan sikapnya dalam menghadapi bid’ah di Makkah, di Madinah dan di Makkah seusai Fathu Makkah. Hal ini bisa kita lihat dari  sikap Nabi terhadap berhala yang ada di sekitar Ka’bah, antara sebelum hijrah dan sesudah fathu Makkah. Dan  adakah yang lebih bid’ah dibandingkan dengan berhala di sekeliling Ka’bah.
Selain itu hanya iman yang bisa mengatasi berbagai Bid’ah dan semua kemelut dalam kehidupan ini,karena ilmu dan teknologi yang canggih sekalipun tidak berdaya menghadapi kepentingan – kepentingan duniawi.Kegelisahan,keraguan,kecurigaan hanya akan hilang oleh iman.





BAB  III
PENUTUP
                                                             
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
  1. Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid’ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak.
  2. Analisis tentang Bid’ah dapat dipergunakan untuk menambah pengetahuan tentang agama islam bagi masyarakat.
  3. Berkaitan dengan moral dan peran manusia,maka penyebab yang paling dominan sebagai penyebab terjadinya Bid’ah yaitu tidak adanya pemahaman dan komitmen agama yang baik dikalangan masyarakat.
  4. Iman kita dapat dirusak oleh perbuatan-perbuatan yang mendekati Bid’ah.
  5. Iman memiliki fungsi dan hikmah yang besar bagi kehidupan untuk melenyapkan Bid’ah.

B.  Saran
  1. Setelah disadari bahwa Bid’ah kesalahan yang besar yang menyalahi hukum-hukum Allah dan tidak diajarkan dalam agama Islam maka hendaklah masyarakat mampu meramu pendidikan agama Islam yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diajarkan dalam agama islam.
  2. Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca akan lebih dapat mencari tahu  tentang bid’ah yang diwajibkan dan diharamkan.
  3. Masyarakat hendaknya mampu mengadakan penelitian-penelitian  sederhana yang bertujuan untuk menemukan formula-formula baru  bagi system pembelajaran agam islam yang lebih inovatif untuk meningkatkan  mutu pendidikan tentang agama islam yang menambah dan memperkuat iman kita terhadap Allah.




DAFTAR  PUSTAKA

Asyur,Musthafa.1995.Amalan baru dalam pandangan iman as suyutr.Surabaya:Darul Hikmah.
Dr.Muhammad.2006Dzikir Berjamaah antara sunah dan bid’ah.Solo:Daru alhidayah an-Nabawi
Hasan,ali.2000.Membedah akar bid’ah.Jakarta Timur:Pustaka Al Kautsar.
Shobron Sudarno.2005.Studi Islam 3.Surakarta : LPD,UMS.
Zuhdi Najmuddin.M. dan Shobahiya Mahasri.2006.Ber-Islam.Surakarta : LPD,UMS.
Shobahiya Mahasri dan Rosyadi Imron.2005.Studi Islam 1.Surakarta : LPD,UMS.
http://www.geogle.com
http://majalahnikah.com/index.php?option=com_content&viewarticle&id=14:kedudukan-bidah-dan-maksiat-dalam-agama&catid =18:shirathalmustaqim&Itemid=28
http://datakristen.blogspot.com/
http://singgihcongol.wordpress.com/artikel-2/makalah-bidah/#comment-41
http://masayine.blogspot.com/2011/04/makalah-bidah.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar