2012-12-23

Makalah Landasan Pendidikan


MAKALAH
UNTUK MEMENUHI SYARAT
KELENGKAPAN NILAI LANDASAN PENDIDIKAN





DISUSUN OLEH :
TAUFIK FAJAR GUMILANG
KELAS A-1
PENDIDIKAN MATEMATIKA


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010

KATA PENGANTAR

Ide, pemikiran konseptual, dan informasi yang disajikan dalam makalah ini merupakan hasil kajian teoritik dari beberapa sumber relevan.
Kajian ini bermaksud mengajak untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam upaya mengembangkan konsep dan model penerapan pendekatan sistem pada berbagai aktivitas perencanaan pendidikan. Dalam kajian teoritik ini disajikan tiga konsep dan pendekatan perencanaan pendidikan.
Adapun pendekatan yang dipandang mampu memenuhi adalah Pendekatan Sistem, yaitu suatu kerangka ilmu pengetahuan yang dapat memadukan berbagai pendekatan bersifat parsial menjadi suatu pendekatan yang bersifat menyeluruh dan terpadu atau komprehensif.
Akhirnya, untuk melengkapi tugas Landasan Pendidikan penulis sangat menyadari bahwa paparan isi makalah ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran dosen pembimbing sangat diharapkan kehadirannya demi perbaikan selanjutnya.



Surakarta, Desember 2010
penulis


Bab 1
PENDAHULUAN

A.   Tujuan Pendidikan
Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Dibawah ini dikemukakan beberapa batasan tentang pendidikan yang bebeda berdasarkan fungsinya.

1.     Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari suatu generasi ke generasi lainnya. Nilai-nilai kebudayaan tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada 3 bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggungjawab dan lain-lain, yang kurang cocok diperbaiki misalnya tata cara perkawinan, dan tidak cocok diganti misalnya pendidikan seks yang dahulu ditabukan diganti dengan pendidikan seks melalui pendidikan formal.

Disini tampak bahwa,proses pewarisan budaya tidak semata-mata mengekalkan budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas kenyiapkan peserta didik untuk hari esok.
2.     sebagai Proses Pembentukan Pribadi
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai sutu kegiatan yang sistematis dan sitemik dan terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.

Proses pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang belum dewasa, dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri. Yang terkhir disebut pendidikan diri sendiri.

3.     Pendidikan sebagai Proses Penyiapan warga Negara
Pendidikan sebagai penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.

4.     Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja
Pendidkan sebagai penyiapan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memilki bekal dasar untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran.

5.     Definisi Pendidikan Menurut GBHN
GBHN 1988 (BP 7 Pusat, 1990:105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut: Pensisikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

 MACAM-MACAM TUJUAN PENDIDIKAN.
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.

Didalam praktek pendidikan khususnya pada sistem persekolahan, di dalam rentangan antara tujuan umum dan tujuan yang sangat khusus terdapat sejumlah tujuan antara. Tujuan antara berfungsi untuk menjembatani pencapaian tujuan umum dari sejumlah tujuan rincian khusus. Umumnya ada 4 jenjang tujuan di dalamnya terdapat tujuan antara , yaitu tujuan umum, tujuan instruksional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.
a.     Tujuan umum pendidikan nasional Indonesia adalah Pancasila.
b.     Tujuan institusional yaitu tujuan yang menjadi tugas dari lembaga pendidikan tertentu untuk mencapainya.
c.      Tujuan kurikuler, yaitu tujuan bidang studi atau tujuan mata pelajaran.
d.     Tujuan instruksional , tujuan pokok bahasan dan sub pokok bahasan disebut tujuan instruksional, yaitu penguasaan materi pokok bahasan/sub pokok bahasan.

C. Hasil Pendidikan dan Evaluasi
1. Hasil Pendidikan
2. Evaluasi
a. Pengertian Evaluasi
Evaluasi adalah suatu tindakan untuk menentukan nilai sesuatu.
b. Tujuan evaluasi
Menurut Sudirman N., dkk.,(1991: 242) tujuan evaluasi adalah
- Mengambil keputusan tentang hasil belajar
- Memahami anak didik
- Memperbaiki dan mengembangkan program pengajaran.
c. Fungsi evaluasi
Dilihat dari segi anak didik secara individual, evaluasi berfungsi :
- Mengetahui tingkat pencapaian anak didik dalam suatu prosese belajar mengajar
- Menetapkan keefektifan pengajaran dan rencana kegiatan.
- Memberi basis laporan kemajuan anak didik.
- Menghilangkan halangan – halangan atau memperbaiki kekeliruan yang terdapat sewaktu praktek.
Dilihat dari segi program pengajaran, evaluasi berfungsi :
- Memberi dasar pertimbangan kenaikan dan promosi anak didik.
- Memberi dasar penyusunan dan penempatan kelompok anak didik yang homogen.
- Diagnosis dan remedial pekerjaan anak didik.
- Memberi dasar pembimbingan dan penyuluhan.
- Dasar pemberian angka dan rapor bagi kemajuan anak didik.
- Memotivasi belajar anak didik.
- Mengidentifikasi dan mengkaji kelainan anak didik.
- Menafsirkan kegiatan sekolah ke dalam masyarakat.
- Mengadministrasi sekolah.
- Mengembangkan kurikulum.
- Mempersiapkan penelitian pendidikan di sekolah.
d. Jenis-jenis evaluasi
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilaksanakan setiap kali selesai mempelajari suatu unit pelajaran tertentu. Hal – hal yang oerlu diperhatikan dal;am pemakaian evaluasi formati yaitu:
- Penilaian dilakukan pada akhir setiap satuan pelajaran.
- Penilaian formatif bertujuan mengetahui sejauh mana tujuan instruksional khusus (TIK) pada setiap satuan pelajaran yang telah tercapai.
- Penilaian formatif dilakukan dengan mempergunakan tes hasil belajar, kuesioner, ataupun cara lainnya yang sesuai.
- Siswa dinilai berhasil dalam penilaian formatif apabila mencapai taraf penguasaan sekurang-kurangnya 75% dari tujuan yang ingin dicapai.
2. Evaluasi Subsumatif/sumatif
Evaluasi subsumatif adalah penilaian yang dilalsanakan setelah beberapa satuan pelajaran diselesaikan, dilakukan pada perempat atau temfah semester. Sedangkan evaluasi sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan setiap akhir pengajaran atau suatu program atau sejumlah unit pelajaran tertentu. Evaluasi sumatif bermanfaat untuk menilai hasil pencapaian siswa terhadap tujuan suatu program pelajaran dalam suatu periode tertentu, seperti semester atau akhir tahun pelajaran. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian evaluasi sumatif :
- Siswa dinilai berhasil dalam mata pelajaran tertentu selama satu semester apabila nilai rapor mata pelajaran tersebut sekurang-kurangnya 6 (enam).
- Penilaian sumatif (subsumatif) dilakukan dengan mempergunakan tes hasil belajar, kuesioner ataupun cara lainnya yang sesuai dengan menilai ketiga ranah yakni kognitif, afektif, dan psikomotor.
- Hasil penilaian sumatif (subsumatif) dinyatakan dalam skala nilai 0 – 10.
3. Evaluasi Kokurikuler
Kegiatan kokurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran yang telah dijatahkan dalam struktur program, berupa penugasan-penugasan atau pekerjaan rumah yang menjadi pasangan kegiatan intrakurikuler.
Kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di sekolah dengan penjatahan waktu sesuai dengan struktur program.
Evaluasi kokurikuler adalah kegiatan yang berhubungan dengan hal-hal berikut:
- Penilaian kokurikuler terutama dilakukan terhadap hasil kegiatan kokurikuler yang antar lain berupa: kliping, lembar jawaban soal, laporan praktikum, karangan, kesimpulan atau ringkasan dari buku.
- Penilaian kokurikuler dilakukan setelah nsiswa selesai mengerjakan setiap tugas yang diberikan.
- Hasil penilaian kokurikuler dinyatakan dalam skala 0 – 10
- Penilaian dapat dilakukan perorangan
- Nilai kokurikuler diperhitungkan untuknilai rapor.
4. Evaluasi Ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan diluar jam pelajaran, yang dilkukan di sekolah ataupun di luar sekolah. Kegiatan ini di maksudkan untuk memperluas pengetahuan siswa, mengenal hubungan antara berbagai mata pelajaran atau bidang pengembangan, menyalurkan bakat dan minat yang menunjang pencapaian tujuan instruksional.
e. Jenis – jenis Alat Evaluasi
1. Tes
a. Tes Tertulis
- Tes bentuk uraian yaitu semua bentuk tes yang pertanyaannya membutuhkan jawaban dalam bentuk uraian.
- Tes Bentuk Objektif yaitu semua bentuk tes yang mengfharuskan siswa memilih di antara kemungkinan – kemungkinan jawaban yang telah disediakan, memberi jawaban singkat, atau mengisi jawaban pada kolom titik-titik yang disediakan.
b. Tes Lisan (Oral tes
Tes lisan merupakan alat penilaian yang pelaksanaannya dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung untuk mengetahui kemampuan
Kemampuan berupa proses berfikir siswa dalam memecahkan suatu masalah, mempertanggungjawbkan pendapat, penggunaan bahasa, dan penguasaan materi pelajaran.
c. Tes perbuatan (Ferformance Test)
Tes perbuatan adalah tes yang diberikan dalam bentuk tugas-tugas. Pelaksanaannya dalam bentuk penampilan atau perbuatan (praktek pengalaman lapangan, praktek lapangan kerja, praktek olah raga, praktek laboratorium, praltek kesenian, dan lain-laIn). Untuk melaksanakan tes perbuatan diperlukan dua jenis alat yaitu:
- lembaran tugas (kerja) yang berisi deskripsi mengenai instruksi (petunjuk) yang jelas sehingga siswa mengetahui secara tepat apa yang harus dilakukan.
- lembaran pengamatan yang digunakan untuk menilai tingkah laku siswa selama proses pelaksanaan tugas sampai kepada hasil yang dicapai.
2. Nontes
Ditinjau dari pelaksanaannya nontes berupa:
a.     Wawancara, yaitu komunikasi langsung antara yang mewawancarai dengan yang diwawancarai.
b.     Pengamatan (observasi), pengamatan lansung. Contohnya yaitu:
c.      Studi kasus ialah mempelajari individu dalam periode tertentu secar terus menerus untuk melihat perkembangannya.
d.     Skala penilaian (rating scale), merupakan salah satu alat penilaian yang menggunakan skala yang telah disusun dari ujung yang negatif sampai kepada ujung yang positif sehingga pada skala tersebut penilai tinggal membubuhi tanda cek saja (V).
e.      Inventory merupakan alat penilaian yang menggunakan daftar pertanyaan yang disertai alternatif jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), tidak punya pendapat(TPP), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS).
Tujuan pendidikan secara umum dapat dilihat pada:
1.     UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
2.     Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu  Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani.

Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
3.     TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai.

B.   Manfaat Pendidikan
Pembahasan tentang pengawasan pendidikan harus diawali dengan dua pengamatan dasar, pertama bahwa orang-orang dengan pendidikan yang lebih tinggi berbeda dengan orang yang kurang berpendidikan. Pengamatan kedua adalah perubahan individu yang terjadi setelah mereka mendapatkan yang lebih tinggi.

1.     Dimensi Manfaat Pendidikan
Orang yang akan mendapat beberapa keuntungan atau manfaat pendidikan yang pertama dan yang paling nyata adalah siswa. Setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga setiap karakteristik tersebut harus dapat dipahami agar mereka dapat mencapai manfaat dalam pendidikan. Sebagai tambahan pengaruh orang lain dalam masyarakat dapat mempengaruhi pendidikan siswa, baik secara langsung maupun tidak langsung (keluarga dan teman-teman atau guru). Manfaat yang akan diperoleh siswa mudah sekali untuk dijelaskan, siswa yang belajar membaca disekolah lebih baik dari pada mereka yang tidak dapat membaca.

Dalam ekonomi hal ini disebut “manfaat pribadi”. Para ekonom membedakan manfaat pribadi dengan manfaat sosial. Manfaat sosial adalah sesuatu yang dapat mengembangkan orang selain pendidikan. Masyarakat dikatakan lebih baik karena pendidikan mereka.

Karakteristik dan pembawaan umum tertentu dapat dianggap sebagai hasil dari sekolah, termasuk pemahaman tentang nilai demokrasi sebagai upaya untuk memerangi segala bentukkediktatoran dalam suatu pemerintahan dan kemampuan untuk berpikir kritis dan yang pantas. Keahlian tersebut mungkin menjadi pengaruh tidak langsung dari bidang studi kewarganegaraan, ilmu sosial, sejarah, filsafat, bahasa, dan pengajaran lain.

Perubahan yang dipengaruhi oleh pengalaman pendidikan. Secara metodologis hal ini berarti bahwa pengukuran pretest dan protest pada individu diperlukan untuk mengidentifikasi perubahan yang disebabkan oleh pendidikan. Hal ini dikenal sebagai “pendekatan penambahan nilai”.

Terdapat lima cara yang berbeda untuk membuat fakulasi (penghitungan) dan mengaplikasikan metode yang spesifik pada pendidikan yang lebih tinggi. Yang pertama adalah dalam mengevaluasi perubahan individu, segala yang dihabiskan dalam pendidikan (tingkat biaya) adalah ukuran kelebihannya. Kedua yaitu menyelidiki reaksi klien terhadap pendidikan universitas. Ketiga adalah mempertimbangkan peningkatan dalam nilai kapita dari manusia yang merupakan hasil dari pendidikan yang lebih tinggi. Keempat melihat seberapa besar pendidikan yang lebih tinggi bertanggung jawab atau berperan dalam pertumbuahn. Kelima dalam memperkirakan nilai pendidikan universitas dengan melihat pada tingkat pengembalian investasi pada pendidikan universitas.

Manfaat pendidikan diperoleh selama pengalaman dari pendidikan itu sendiri, manfaat pendidikan dapat ditanyakan pada siswa setelah mereka melaksanakan pendidikan. Persamaannya seperti manfaat sosial dari mengikuti permainan sepak bola di SMA terjadi selama pengalaman pendidikan.

1.     Fungsinya Memahami Manfaat Pendidikan
Penting sekali untuk mengetahui apa manfaat yang meluas dari pendidikan agar dalam mengalokasi sumber tidak hanya antara berbagai macam dan tingkat sekolah tetapi juga antara pendidikan dan juga program sosial. Manfaat pendidikan juga harus dihargai untuk memutuskan bagaimana membiayai pendidikan pada tingkat yang berbeda. Jika manfaat meluas pada masyarakat yang bersekolah, terdapat alas an untuk memajukan pembiayaan sendiri bagi proses pendidikan, bahkan bias dari pinjaman. Manfaat pendidikan juga harus diidentifikasi untuk menginterpretasikan motivasi pendidik. Secara mendasar pengetahuan diperlukan sebagai manfaat pendidikan sehingga proses pendidikan dapat dievaluasi melalui analisis harga manfaat yang berhubungan dengan alokasi dana dan dalam penetapan manajemen.

1.     Penelitian dan Manfaat Pendidikan
1.     Pendidikan Dasar
Salah satu pemikiran dasar untuk pendidikan remaja selalu adalah fungsi penjagaan sekolah-sekolah, menjauhkan anak-anak dari jalanan, mengurangi kejahatan, membebaskan orang tua untuk bekerja atau bersenang-senang, dan mengajari anak-anak tentang norma-norma masyarakat.
Serupa dengan itu, sekolah-sekolah telah dipercaya melakukan satu fungsi sosialisasi; mengajari anak-anak bagaimana cara bergaul, berbagi, mengambil giliran (bersabar), berpakaian, dan menyesuaikan diri.

1.     Pendidikan Tinggi
Para ekonom memfokuskan pada manfaat yang terkait dengan pekerjaan dan karier yang diterima dari perguruan tinggi oleh mereka yang kuliah dan lulus bukan karena mereka hanya memikirkan uang, tetapi mereka ingin melihatapakah perubahan yang disebabkan oleh kuliah diperguruan tinggi meningkatkan produktivitas (yakni, menghasilkan modal manusia) dan dengan demikian meningkatkan pendapatan.

(Schultz,1961) menghipotesiskan bahwa kuantitas dan kualitas pendidikan yang didapat oleh suatu individu memberikan kontribusi pada modal manusianya, yang menghasilkan kapasitasproduksi yang lebih besar. Modal manusia satu individu selalu bergantung pada faktor-faktor disamping pendidikan (seperti; kesehatan, motivasi, kemampuan bawaan, dan status social ekonomi).

Manfaat dari perguruan tinggi yang berhubungan dengan keuntungan penghasilan dan gengsi social pada dasarnya berkaitan dengan penawaran dan permintaan akan pekerja berpendidikan perguruan tinggi. Kapanpun ada penawaran yang lebih besar dan penawaran lebih sedikit harga naik.

(Rumberger, 1986) mengemukakan bahwa pendidikan sekolah tambahan tidak selalu secara otomatis dihargai dengan pendapatan yang lebih tinggi. Menurut Rumberger, pendidikan sekolah khusus untuk pekerjaan tertentu. Yakni, ketika para pekerja memperoleh pelatihan berdasarkan pada penilaian mereka sendiri atau satu penilaian independent terhadap apa yang dibutuhkan dalam pekerjaan tersebut, pelatihan tersebut dihargai dengan gaji yang lebih tinggi, sementara pelatihan lain yang tidak bersifat khusus untuk satu pekerjaan tertentu mungkin tidak begiti dihargai.

Dinegara-negara lain, proporsi penduduk yang memenuhi syarat yang telah kuliah diperguruan tinggi biasanya jauh lebih rendah daripada Amerika Serikat. Oleh karena itu, lulusan perguruan tinggi dinegara-negara lain dapat mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk mendapati dirinya tidak dihargai dipasar kerj. Di Amerika Serikat sulit untuk berpendapat bahwa setiap tingkat kejenuhan ditingkat S1 dapat menyebabkan kelebihan pendidikan pendidikan dalam artian umum, karena hasil-hasil kejuruan merupakan bagian kecil dari total manfaat pendidikan ditingkat tersebut. Terkait dengan pasar kerja, apa yang dibutuhakan untuk individu bias merupakan pemborosan bagi perekonomian secara keseluruhan (contohnya, gelar S1 dapat dibutuhkan untuk mengajar sejarah kelas empat, tetapi mungkin tidak ada kebutuhan guru sejarah lagi).
Dinegara-negara lain, gelar S1 perguruan tinggi mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berperan sebagai dokumen resmi professional terakhir. Contohnya, di Brasil, bahkan hokum dan kedokteran dipraktekkan oleh lulusan perguruan tinggi tanpa pendidikan pasca sarjana. Ketidakcocokan antara permintaan dan penawaran akan lulusan untuk beragam bidang profesi dan disiplin ilmu menjadi lebih dari sekedar alas an untuk mempertanyakan pertumbuhan dalam pendidikan S1.

(Bowen, 1977) dalam rangkumannya “Apakah pendidikan tinggi setimpal dengan biayanya?”, Bowen memulai dengan memperlihatkan bahwa “Tujuan utama pendidikan tinggi adalah mengubah orang-orang dengan cara-cara yang diinginkan. Tetapi dalam contoh pertama, tujuannya adalah untuk memodofikasi sifat-sifat dan pola-pola perilaku manusia secara perorangan. Universitas-universitas juga berperan melestarikan warisan budaya dan memajukan peradaban. Mereka memberikan layanan masyarakat langsung seperti layanan kesehatan, perpustakaan,museum,pertunjukan drama dan musik, layanan konsultasi.
Dampak terkait universitas terhadap masyarakat dapat dianggap negative (contohnya, jika mereka menghasilkan penelitian yang berakhir dengan pengembangan senjata yang merusak).

1.     Kesimpulan
Setiap individu tidak dapat berharap lebih untuk mendapatkan semua manfaat yang telah dikemukakan. Sebagian manfaat menjadi lebih lemah ketika satu tingkat pendidikan menjadi kurang eksklusif pasti juga ada dampak negative pendidikan sekolah. Analisis untung rugi harus dilakukan oleh individu-individu dalam memutuskan apakah manfaat potensial yang dapat mereka terima dari bersekolah di satu lembaga pendidikan tertentu sesuai dengan biayanya. Serupa dengan itu, masyarakat harus bertanya apakah manfaat yang akan diterimanya dari pengalokasian dana public untuk pendidikan setimpal dengan manfaat yang dihasilkan dari penggunaan alternative dana ini.
Kesimpulannya disini adalah bahwa bagi sebagian besar individu dan bagi masyarakat secara keseluruhan, pendidikan sekolah merupakan investasi yang bagus, namun demikian tidak seorangpun akan begitu ceroboh untuk mengatakan bahwa pendidikan patut didukung, tetapi kita tidak dapat berharap terlalu banyak darinya.

C.   Ruang Lingkup
Pendidikan sebagai ilmu yang mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, karena didalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Adapun segi-segi atau pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan islam sekaligus menjadi ruang lingkup pendidikan islam adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan mendidik itu sendiri.
Maksudnya adalah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu menghadapi/mengasuh anak didik.
2.  Anak didik
Yaitu merupakan obyek terpenting dalam pendidikan islam
3.  Dasar dan tujuan pendidikan islam
Yaitu landasan yang menjadi fundament dan sumber dari segala kegiatan pendidikan islam yang dilakukan
4. Pendidik
Yaitu subyek yang melakukan pendidikan islam
5. Materi Pendidikan Islam
Yaitu bahan-bahan, atau pengalaman-pengalaman belajar ilmu agama islam
6. Metode Pendidikan Islam
Yaitu cara yang paling tepat dilakukan oleh pendidikan untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan islam kepada anak didik
7. Evaluasi Pendidikan
Yaitu memuat cara-cara bagaimana mengadakan evaluasi atau penilaian terhadap hasil belajar anak didik
8. Alat-alat pendidikan islam
Yaitu alat-alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan islam agar tujuan pendidikan islam tersebut lebih berhasil
9. lingkungan sekitar atau millieu pendidikan islam
Yaitu keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan islam


Bab 2
HAKEKAT MANUSIA

A.   Pendahuluan
Sasaran pendidikan manusia adalah manusia. Pendidikan bertujuan menumbuhkembangkan potensi manusia agar menjadi manusia dewasa, beradab, dan normal. Tugas pendidikan mengembangkan potensi, agar aktivitas pendidikan lancar diperlukan pemahaman tentang hakekat manusia serta potensi yang dimiliki manusia.

B.   Dimensi Hakekat Pendidikan
Pandangan tentang hakekat manusia adalah bagian dari filsafat antropologi manusia yang merupakan karya Alloh SWT yang paling istimewa. Hal ini dapat dilihat dari hakekatnya yang monopluralis serta tanggungjawabnya. Sifat hakekat tersebut adalah:
1.     Unsur hakekat yang terdiri dari jasmani dan rohani. Di dalam unsur rohani terdapat cipta, rasa, dan karsa.
2.     Sifat hakekat yang terdiri, sifat individu dan sifat sosial.
3.     Kedudukan hakekat yang tediri dari, sebagai makhluk Alloh dan sebagai makhluk pribadi.

Unsur Jasmani dan Rohani
Agar jasmani dapat tumbuh memerlukan makanan dan  minuman yang sering disebut sebagai kebutuhan primer. Disamping unsur jasmani ada juga unsur rohani. Didalamnya ada potensi cipta, rasa, dan karsa. Ketiganya dapat dikatakan potensi mental spiritual.

          Cipta adalah potensi manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil dari potensi ini (bila dikembangkan) adalah berupa ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Karsa adalah potensi manusia untuk mengetahui norma-norma masyarakat dan norma-norma keagamaan. Hasil dari pengembangan potensi ini adalah munculnya bermacam-macam norma masyarakat dan norma-norma agama/kepercayaan.

          Rasa adalah potensi manusia untuk mengetahui dan menciptakan keindahan dan hasil kerjanya adanya norma keindahan dan bermacam-macam kesenian.

          Dari dimensi rohani tersebut tersirat keampuan manusia untuk tumbuh dan berkembang secara mental spiritual sehingga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemampuan untuk mengenal Alloh SWT. Potensi untuk mengembangkan diri yang positif memberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Berdasarkan uraian diatas ternyata manusia ada makhluk yang dapat dididik.

Unsur Individu dan unsur sosial

Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia adalah pribadi yang bernilai. Ia adalah ciptaan Alloh yang berharga, yang tidak dapat direndahkan, dan tidak dapat diperkosa haknya dan dengan kata lain insan tersebut perlu dilindungi hak-haknya dan perlu dibantu pertumbuhannya.

Disamping itu, manusia juga makhluk sosial yang memiliki potensi untuk bisa berinteraksi dan beromunikasi dengan orang lain agar menjadi manusia yang utuh. Untuk mencapai hal tersebut manusia membutuhkan orang lain.
         
          Unsur Kedudukan sebagai Makhluk Alloh dan Sebagai Makhluk Pribadi

Sebagai makhluk Alloh SWT, pada diri manusia memiliki potensi keagamaan, yaitu dorongan untuk mengabdi kepada dan memasuki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam pandangan antropolog, dorongan ini dimanifestasikan dalam bentuk percaya terhadap kekuasaan supernatural (believe in supernatural being). Dikalangan kaum primitif, misalnya ditemui upacara-upacara sakral dalam bentuk penyembahan leluhur (totemisme), benda-benda yang dianggap keramat, misalnya pohonbesar, gua-gua dan lain-lain. Kasus itu walaupun terlihat sederhana namun merupakan peradaban manusia yang didorong untuk mengabdi dan tunduk kepada sesuatu yang dianggap kuasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk beragama baik secara individu maupun kelompok. Kecenderungan ini menuntut adanya pengaruh dari orang dewasa (pendidik) kepada anak (peserta didik) agar potensi sebagai makhluk Alloh SWT tumbuh dan berkembang secara baik dan benar.

Selain sebagai makhluk Alloh SWT manusia memiliki potensi sebagai makhluk yang berdiri sendiri engan dibekali oleh akal pikiran dimensi ini cenderung mendekati fungsi manusia sebagai khalifah dibumi. Berdiri sendiri dimaksutkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, perkataan dan persetujuan selaa hidup dibumi sebagai pemilik, pengelola dan pemakai (konsumen) terhadap alam titipan/pemberian Alloh SWT. Dari peran ini diharapkan manusia dapat menciptakan hidup harmonis dimuka bumi jangan merusak bumi. Untuk menumbuh kembangkan potensi ini dierlukan proses pendidikan. Prayitno (1990) merumuskan tentang dimensi manusia sebagai dimensi keindividualan (individualitas), dimensi kesosialan (sosialitas), dimensi kesusilaan (moraitas), dan keagamaan (religiusitas).

Pengembangan dimensi keindividualan memungkinkan seseorang mengembangkan semua potensi secara optimal mengarah pada aspek positif. Bakat, minat, dan semua kemampuan fisik dikembangkan dalam mewujudkan dimensi keindividualitasan. Pengembangan dimensi ini membawa seseorang menjadi individu yang mampu tegak berdiri dengan kepribadiannya sendiri, dengan “aku” yang teguh, positif, produktif dan dinamik.

Pengembangan dimensi keindividuaan harus diimbangi dengan dimensi kesosialan. Pengembangan dimensi kesosialan menuntut interaksinya dengan lingkungan sehingga harus berinteraksi, bergaul, bekerja sama, dan hidup bersama orang lain. Tumbuh kembangnya dimensi keindividualan dan sosial akan saling isi mengisi saling menemukan makna yang sesungguhnya.

Dimensi kesusilaan akan memberikan corak moral dalam pengembangan dimensi pertama dan kedua. Norma, etika dan berbagai nilai sosial mengatur bagaimana kebersamaan antar individu. Hidup bersama orang lain, dalam rangka mengembangkan kemanusiaan tidak dapat dilakukan semau gue tetapi harus diselenggarakan sedemikian rupa agar bermanfaat yang sebenar-benarnya bagi kehidupan.

Pengembangan dimensi pertama, kedua, dan ketiga baru menekankan kehidupan manusia didunia. Kehidupan manusia yang lengkap meliputi dunia dan akhirat, sehingga diperlukan pengembangan dimensi keagamaan. Dalam dimensi keagamaan ini manusia menghubungkan diri dengan Alloh SWT sehinga muncul sikap, perilaku yang menggambarkan keduniaan dan keakhiratan. Jika hal ini berkembang akan terdapat kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang dunia dan akhirat.

Manusia seutuhnya adalah manusia yang berkembang semua dimensi kemanusiaannya, sehingga memberikan corak kualitas manusia. Ia indah, tinggi derajatnya, serta baik perilakunya. Pengembangan manusia seutuhnya ini menjadi tujuan pendidikan di Indonesia. Taliziduhu Ndraha (1999;33) menerangkan, manusia utuh jika terdapat keserasian tetapi dinamis yang nampak keluar.

Berbagai kemungkinan perkembangan komponen kepribadian akan melahirkan kepribadian manusia sbb:


K U A L I F I K A S I
Komponen
1
2
3
4
5
6
7
8
-Cipta
+
-
+
+
-
-
+
-
-Rasa
+
+
-
+
-
+
-
-
-Karsa
+
+
+
-
+
-
-
-
-Religiusitas
+
+
-
-
-
-
-
-
Kepribadian
Utuh
B
J
M
BJ
BM
JM
BJM
          Keterangan:B(bodoh), walau baik dan rajin; J(jahat), walau pandai dan rajin; M(malas), walau pandai dan baik; BJ(bodoh dan jahat); BM(bodoh dan malas); JM(jahat dan malas); BJM(bodoh, jahat, malas).

C.   Hakekat Manusia dalam Pandangan Islam
Ajaran islam melihat bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Alloh SWT. Berdasarkan sudut pandang ini pula, filsafat pendidikan islam menempatkan status manusia dan segala aspeknya dalam konteks pendidikan.

Manusia dalam pandangan islam adalah makhluk ciptaan Alloh SWT (QS. 95;4). Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS. 15;29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Alloh SWT selaku penciptanya (QS. 51;56). Sejalan dengan kepentingan itu maka kepada manusia dianugrahkan oleh penciptanya berbagai potensi yang dapat dikembangkan melalui pendidikan yang terarah, teratur dan berkesinambungan. Hal ini memberi isyarat bahwa manusia adalah makhluk yang berpotensi untuk dididik (animal educable). Manusia merupakan makhluk yang mampu mengembangkan diri sejalan dengan potensi yang dimilkinya (homofaber). Dalam pandangan ini manusia dinilai sebagai makhluk eksploratif mampu dikembangkan dan sekaligus mampu untuk mengembangkan diri. Dalam Al-Qur’an, manusia disebut dengan berbagai nama, antara lain Al-Basyr, Al-Insan, An-nas, Abdullah, dan khalifah Alloh.

1.     Konsep Al-Basyr
Sebagai makhluk biologis berarti manusia terdiri atas materi sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik materi (Hasan Langgung, 1987), berup tubuh kasar. Dalam hal ini, manusia memiliki dorongan biologis seperti dorongan makan dan minum, dorongan seksual, dorongan mempertahankan diri, sebagai bentuk dorongan primer makhluk biologis. Untuk kebutuhan biologisnya maka manusia harus berperan dalam upaya memenuhi kebutuhan primernya. Upaya tersebut pertolongan pihak lain melalui bimbngan dan pendidikan.

2.     Konsep Al-Insan
Penggunaan kata Al-Insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam Al-Qur’an, mengacu pada potensi yang dianugerahkan Alloh SWT kepada manusia. Potensi tersebut antara lain adalah potensi untuk tumbuh secara fisik (Q.S. 23:12-14) dan juga berkembang secara mental spiritual. Potensi manusia menurut konsep Al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia utuk berkreasi dan berinovasi.

3.     Konsep An-Naas
Dalam Al-Qur’an kosa kata An-Naas umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Makhluk diciptakan sebagai akhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku, bangsa dan saling kenal-mengenal (Q.S. 49:13). Al-Thayyibat wa Rabb Ghafur merupakan gambaran tentang kehidupan sosial manusia yang ditandai oleh, toleransi, keharmonisan serta adanya perindungan hak dan kewajiban antar warga yang anggotanya terdiri atas individu, kelompok yang memiliki peradaban tinggi serta beriman kepada Alloh SWT.

4.     Konsep Abdullah
Menurut Quraish shihab, seluruh mahluk yang memiliki potensi berperasaa dan berkehendak adalah Abdullah dalam arti dimiliki Alloh SWT. Dalam konteks Abdullah ini, peran manusia harus disesuaikan dengan kedudukan sebagai abdi (hamba). Hal ini berarti bahwa manusia harus menempatkan diri sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu Alloh SWT. Sebagai pernyataan penghambaan dirinya, manusia harus dapat menempatkan dirinya sebagai pengabdi Alloh dengan sungguh-sungguh dan secara ikhlas. Kemampuan ini tergambar dari pola sikap dan perilakunya, yaitu apakah ia sanggup untuk memerankan peran itu secara baik atau tidak.

5.     Konsep Khalifah Alloh
Pada hakekatnya, eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah untuk melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini, sesuai dengan kehendak pencipta Nya. Tugas kekhalifahan setidak-tidaknya dilakonkan manusia sendiri dari dua jalur yaitu jalur horisontal dan jalur vertikal.
Uraian hakekat manusia dalam pandangan islam dengan mengacu pada prinsip penciptaan tersebutmenurut filsafat pendidikan islam manusia adalah makhluk yang berpotensi dan memiliki peluang untuk dididik. Manusia tidak mungkin dapat bertumbuh dan berkembang sendiri (tanpa daya) hingga memerlukan bantuan dari luar baik berupa pemeliharaan, pembinaan, dan bimbingan. Bimbingan yang dinilai paling efektif adalah pendidikan.

D.   Implikasi dalam Pendidikan

Dari uraian tentang hakekat manusia, baik ditinjau filosofis maupun tinjauan Islam, maka dapat diambil beberapa implikasi antara lain, sebagai berikut:

1.     Anak memerlukan perlindungan dan perawatan, sebagai masa persiapan pendidikan.
2.     Kemampuan pendidikan terbatas.
3.     Diperlukan transmisi budaya.
4.     Diperlukan internalisasi budaya.
5.     Anak dapat enerima bantuan yang tertuju pada dapat belajar.
6.     Setiap individu adalah unik, sehingga terjad saling pengaruh mempengaruhi, yang mempunyai kelebihan dapat memberi bantuan kepada yang lain yang memerlukan.

Pandangan islam tentang hakekat manusia sebagai tersebut diatas memiliki implikasi sebagai berikut:
1.     Pendidikan sama dengan hubungan antara manusia dengan pengaruh lingkungan/pendidik.
2.     Kegiatan pendidikan lebih berpusat pada fungsi kedua orang tua.


Kesimpulan: kesimpulan dari kalimat adalah, potensi manusia itu terbagi menjadi 2 yaitu potensi jasmani dan potensi rohani. Dengan potensi jasmani adalah keterampilan, sedangkan potensi rohani adalah cipta, rasa, dan karsa. Dengan arti cipta yaitu pengalaman lahir batin, rasa yaitu berhubungan dengan kemampuan manusia untuk menciptakan keindahan, sedang karsa yaitu yang berhubungan dengan norma-norma keagamaan.

Dapat disimpulkan bahwa sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu yaitu sebagai pribadi yang bernilai, dan diciptakan oleh Alloh dengan derajat yang tinggi. Sedang sebagai makhluk sosial yaitu manusia mampu berinteraksi dengan orang lain.
Menurut prayitno dimensi-dimensi manusa terbagi menjadi 4 yaitu keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keagamaan. Keindividualan berhubungan dengan pengembangan potensi diri, kesosialan berhubungan dengan interaksi terhadap lingkungan, kesusilaan berhubungan dengan pengatur kebersamaan antara individu, dan keagamaan yaitu manusia menghubungkan diri dengan Aloh SWT sehingga muncul sikap, perilaku yang menggambarkan keduniaan dan keakhiratan.
manusia merupakan makhluk eksploratif yaitu mampu dikembangkan dan mengembangkan diri. Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama yaitu Al-Basyr, Al-Insan, An-Naas, Abdulloh, dan Khalifah Alloh.
1.     Al-Basyr               : Sebagai makhluk biologis.
2.     Al-Insan               : Potensi untuk berkreasi dan berinovasi.
3.     An-Naas               : Fungsi manusia sebagai makhluk sosial.
4.     Abdulloh              : Peran manusia disesuaikan dengan kedudukan sebagai hamba.
5.     Khalifah Alloh     : Tugas khalifah adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya.
















Bab 3
HAKEKAT PESERTA DIDIK

A.   Pendahuluan
Dalam pandangan konvensional peserta didik diperlukan sebagai objek didik karena hakekat peserta didik dipandang sebagai wadah yang harus diisi dngan pengetahuan, ketrampilan. Berlainan dengan pandangan modern bahwa hakekat peserta didik sejak awal telah mempunyai potensi sehingga pengajaran difungsikan sebatas mendorong dan menstimuli berkembangnya potensi, peserta didik aktif mengembangkan potensinya sendiri sebagai subyek didik. Dalam pandangan pengajaran yang mengikuti pendekatan bipolar, bahwa dalam kegiatan proses pelajaran hanya ada dua pihak yang dominan (guru/pengajar atau peserta didik), maka potensi peserta didik memiliki dua kemungkinan yaitu sebagai subyek didik dan kemungkinan kedua sebagai obyek didik.

Dalam diskursus yang menyangkut hakekat peserta didik sampai kini terus berlangsung sejajar dengan perkembangan ilmu pendidikan itu sendiri, walaupun dalam belahan bumi lain telah terselenggara pendidikan/pengajaran yang lebih menempatkan peserta didik sebagai subyek didik seperti diAmerika dan Kanada, namun dibelahan bumi lainnya masih saja menempatkan peserta didik sebagai obyek didik. Berikut ini akan diuraikan berbagai pandangan tentang manusia sebagai subyek didik maupun obyek didik.



1.     Dimensi Antropologi
Antropologi adalah ilmu yang mengkaji tentang asal-usul, perkembangan, karakter spesies manusia ini, hakekat peserta didik dipandang sebagai homo sapiens yaitu sebagai makhluk hidup yang telah mencapai evolusi paling puncak. Dalam klasifikasi ini Mudyahardjo (2000:22-26) menerangkan peserta didik mempunyai ciri khas sebagaimana ciri manusia umumnya, yaitu:

a.     Berjalan tegak (bipedal locomotion)
b.     Mempunyai otak besar dan kompleks
c.      Hewan yang tergeneralisasi, dapat hidup dalam berbagai lingkungan.
d.     Periode kehamilan yang panjang dan lahir tidak berdaya

Hakekat peserta didik dalam pandangan dimensi Antropologi adalah bahwa peserta didik sebagai makhluk yang dapat bermasyarakat dan dapat dimasyarakatkan sehingga pendidikan harus menyentuh upaya sosialisasi dan pembudayaan. Kebudayaan yang dihasilkan melalui interaksi dalam masyarakat baik berupa budaya materiil maupun inmaterial dapat dijadikan tranmisi pendidikan, bahkan dapat dijadikan pembentuk watak kemasyarakatan peserta didik.

Hakekat peserta didik merupakan organisme yang harus ditolong sebab peserta didik hanya akan menjadi matang apabila diberikan pertolongan dalam bentuk pendidikan, latihan maupu bimbingan dengan menggunakan bahan-bahan antropologis. Sebab ilmu antropologi mampu untuk menyediakan dan menghimpun bahan-bahan pengetahuan empiris berdasarkan lingkungan sosial budayanya masing-masing.

Imran Manan (1989:12-13) menjelaskan bahwa dari dimensi Antropologis terdapat tiga prinsip tentang peserta didik yaitu:

Pertama, peserta didik dan manusia adalah makhluk sosial yang hidup bersama-sama dan saling mempengaruhi, sehingga peserta didik merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk mengisi dan melengkapi ketidaklengkapannya.

Kedua, peserta didik dipandang sebagai individualitas yakni menampilkan sifat-sifat karakteristik yang khas dan memiliki struktur kepribadian yang berbeda dengan individu lainnya. Peserta didik pasti dengan karakteristik individualnya akan mengembangkan perbedaan dengan nilai dan watak yang khas, dalam pendididkan nilai dan watak tersebut harus dihargai sebagai keunikan dan dihargai tanpa syarat (unconditional regard).

Ketiga, peseta didik harus dipandang empunyai moralitas. Prinsip antropologis yang ketiga ini mengakui bahwa peserta didik sesungguhnya makhluk yang bermoral sehingga identitas moral sesunguhnya telah dimiliki sejak awal. Langeveld menegaskan bahwa pendidikan sesungguhnya adalah membantu anak agar dia pada penentuan nilai-nilai susila dalam satu orde moril.

2.     Dimensi Psikologis
Pandangan kejiwaan ini sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan sehingga banyak teori pengajaran dan teori belajar diambil dari teori psikologi. Psikologi sebagai ilmu menitik beratkan pengkajian terhadap kegiatan-kegiatan individu dalam keseluruhan ruang lingkup hidup manusia dalam perspektif psikologi ini, peserta didik dipandang sebagai individu yangmampu belajar sebab memiliki karakteristik:

a.     Unik (berada satu dengan yang lainnya)
b.     Sebagai organisme total
c.       mempunyai persiapan bertindak
d.     Mempunyai tugas-tugas perkembangan
e.      Mempunyai berbagai kebutuhan
f.       Mempunyai kecenderungan-kecenderungan umum dalam bertindak
g.     Mempunyai tujuan khusus
h.     Mempunyai motifator untuk dirinya sendiri
Berdasarkan karakter di atas, maka subyek didik adalah individu yang telah dilengkapi dengan kemampuan belajar sehingga pendidikan tinggal mengembangkannya. Dari segi ini peserta didik ditempatkan subyek didik (penderita). Dalam pandangan modern peserta didik dipandang sebagai subyek didik sebab diakui eksistensinya sebagai pribadi yang otonom. Dalam hal ini ciri khas peserta didik diakui memiliki:
a.     Potensi fisik dan psikis yang khas sehingga merupakan individu yang unik.
b.     Potensi sebagai individu yang berkembang.
c.      Kebutuhan untuk dididik secara individual dan perlakuan yang manusiawi.
d.     Kemampuan utuk mandiri dan otonom.

Semua potensi di atas menunjukkan bahwa sebenarnya peserta didik memiliki sifat alami, yaitu dapat didik dan makhluk yang membutuhkan pendidikan. Penegasan sifat alami peserta didik di atas diperkuat oleh Immanuel Kant ungkapannya: Man can become man through education only. Empat ciri alami yang diberikan pendidikan adalah sebagai berikut:

1.     Adanya sifat alami untuk tergantung dengan lingkungan sosial dan manusia lainnya. Sifat ini mendorong anak manusia untuk memperoleh bantuan pendidikan pihak manusia lainnya dalam kerangka survival.

2.     Peserta didik pada hakekatnya memiliki dorongan hidup dan mempertahankan eksistensinya. Sifat dasar ini menjadi pendorong peserta didik untuk menyeimbangkan diri terhadap tuntutan ekternal agar mampu merespon stimuli yang datang padanya.


3.     Peserta didik sesungguhnya terdiri dari jasmani dan rohani. Sifat dasar ini menuntut diri untuk menyeimbangkan melalui pendidikan yang dilakukan sehingga pendidikan menjadi kebutuhan vital.

4.     Individu mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang serta berubah secara fisik dan psikis. Kemampuan ini dalam praktik pendidikan tidak selama memperoleh porsi pengembangan yang optimal adakalanya tehambat adakalanya terpacu dengan adanya pendidikan.

B.   Hakekat Peserta Didik sebagai Animal Educandum
Dalam dimensi antropologis, manusia dikategorikan sebagai primata, namun dalam realitanya manusia mampu untuk didik sehingga dinamakan sebagai animal educandum. Dalam kajian ini, peluang manusia sebagai peserta didik untuk dididik dapat ditelusuri dari berbagai argumentasi misalnya dalam dimensi biologis, anak manusia yang lemah dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kejamnya lingkungan, mendorong orang dewasa untuk mempersiapkannya melalui pendidikan.

Pembuktian bahwa hakekat peserta didik adalah animal educandum ini diperkuat lagi dengan argumentasi yang berdimensi socio antropologis yang menegaskan bahwa setiap anggota masyarakatnya harus menguasai budaya masyarakat lingkungannya sehingga didalamnya harus menitinya dengan belajar agar menjadi warga masyarakat yang beradab.

Implikasi argumentasi sosio-antropologis ini menuntut bahwa animal berupa anak manusia memerlukan instrumen transformasi dari organisme biologis menuju kepada status organisme budaya serta di dalamnya terjadi proses internalisasi budaya. Oleh karena kebutuhan transmisi tersebut hadirnya pendidikan sebagai fungsi proses sosialisasi dari tiap individu yang akan menjadikannya manusia membudaya. Hakekat peserta didik dalam kasus ini merupakan calon anggota masyarakat yang harus disosialisasikan agar menjadi warga masyarakat.









Kesimpulan : Dalam pandangan konvensional peserta didik diperlukan sebagai objek didik karena hakekat peserta didik dipandang sebagai wadah yang harus diisi dngan pengetahuan, ketrampilan.
pandangan modern bahwa hakekat peserta didik sejak awal telah mempunyai potensi sehingga pengajaran difungsikan sebatas mendorong dan menstimuli berkembangnya potensi, peserta didik aktif mengembangkan potensinya sendiri sebagai subyek didik.
diuraikan berbagai pandangan tentang manusia sebagai subyek didik maupun obyek didik.
1.     Dimensi Antropologi
Hakekat peserta didik dalam pandangan dimensi Antropologi adalah bahwa peserta didik sebagai makhluk yang dapat bermasyarakat dan dapat dimasyarakatkan.
2.     Dimensi Psikologi
Psikologi sebagai ilmu menitik beratkan pengkajian terhadap kegiatan-kegiatan individu dalam keseluruhan ruang lingkup hidup manusia dalam perspektif psikologi ini, peserta didik dipandang sebagai individu yang mampu belajar.
Empat ciri alami yang diberikan pendidikan adalah sebagai berikut:
a.     Adanya sifat alami untuk tergantung dengan lingkungan sosial dan manusia lainnya.
b.     Peserta didik pada hakekatnya memiliki dorongan hidup dan mempertahankan eksistensinya.
c.      Peserta didik sesungguhnya terdiri dari jasmani dan rohani.
d.     Individu mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang serta berubah secara fisik dan psikis.
Dalam dimensi antropologis, manusia dikategorikan sebagai primata, namun dalam realitanya manusia mampu untuk didik sehingga dinamakan sebagai animal educandum.
Implikasi argumentasi sosio-antropologis ini menuntut bahwa animal berupa anak manusia memerlukan instrumen transformasi dari organisme biologis menuju kepada status organisme budaya serta di dalamnya terjadi proses internalisasi budaya.











Bab 4
HAKEKAT PENDIDIKAN

A.   Latar Belakang
Pendidikan sebagai kegiatan pembelajaran telah dilakukan seusia manusia itu sendiri sebagai pelaku pendidikan. Keragaman pendidikan yang terjadi di atas bumi ini disebabkan karena perbedaan cara memberikan makna terhadap pendidikan itu sendiri sebagai gejala sosial. Dalam masyarakat yang liberal, pendidikan dipandang sebagai kegiatan investasi sehingga penyelenggaraan pendidikan umumnya sangat mahal, sedangkan dalam masyarakat yang lain pendidikan dipandang sebagai proses civilisasi, yaitu proses untuk menjadikan anak didik sebagai warga masyarakat yang baik.

Praktik demikian sesungguhnya tidak dominan sebab tidak jarang dalam masyarakat mengkombinasikan antara kepentingan pendidikan sebagai investasi tetapi sekaligus sebagai proses civilisasi dan humanisasi. Di Indonesia, pendidikan merupakan proses yang multitujuan yang bertujuan, yaitu untuk penyiapan tenaga kerja, kepentingan politik maupun untuk karakter building. Apabila dituntut mengapa perbedaan corak pendidikan di masing-masing negara berbeda, maka salah satu penyebabnya adalah karena konsep dan pandangan tentang pendidikan itu sendiri berlainan anatara satu komunitas dengan komunitas yang lain. Dalam era desentralisasi pendidikan di Indonesia, unsur perbedaan karena kepentingan lokal (local content) dijadikan nilai keunggulan dari setiap penyelenggaraan pendidikan didaerah.

Untuk di Indonesia dapat dijumpai berbagai penekanan penguasaan pelajaran di sekolah. Ada yang memprioritaskan ilmu humaniora karena pendidikan dipandang sebagai proses Humanisasi (memanusiakan anak didik), ada yang mementingkan penguasaan tekhnologi karena pendidikan dipandang sebagai transfer ilmu dan tekhnologi, dan ada pula pendidikan dijadikan alat rekayasa pembangunan bangsa, ada pula yang mengutamakan aspek politis karena pendidikan dianggap sebagai sarana mendidik bangsa untuk menjadi warga negara yang baik.

Misi pendidikan harus diperbaharui dan direkonstruksi terus-menerus agar relevansi tercapai. Untuk menikuti bagaimana dinamika konsepsi dalam pandangan tentang pendidikan akan disampaikan uraian tentang hakikat pendidikan dan hakikat peserta didik.

Pada mulanya pertumbuhan pendidikan selalu berawal dari bentuk pendidian yang terselenggara dalam masyarakat primitif dalam wujud tradisional dan nonformal. Wujud pendidikan yang ada mengikuti dan berhimpit dengan kehidupan sehingga prosesnya bercorak simbiosis yaitu menyatu dengan irama hidup dan interaksi diantara orang-orang dewasa dan anak-anak. Sehubungan dengan hal ini, Kartini Kartono (1992:1) memandang bahwa masyarakat merupakan sekolah besar. Kompleksitas antara material pengetahuan yang ditransfekan dengan empirika kehidupan berbaur menjadi satu sehingga pemilahan mana kurikulum, sejauh mana progress pembelajaran menjadi sangat kabur. Ditinjau dari aspek fungsional memang jauh lebih fungsional sebab apa yang dilakukan anak adalah sesuatu pengetahuan yang sangat berguna dan langsung dapat dimanfaatkan.

Ide muatan pembelajaran fungsional dan memiliki tingkat utilitas tinggi inilah kelak dalam alam pendidikan modern diadopsi menjadi prinsip fungsional pendidikan sehingga muncul pandangan bahwa pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang berguna bagi siswa dan masyarakat. Dalam kasus ini sesungguhnya pemahaman tentang pengangguran sebenarnya tidak perlu ada sebab terjadinya pengangguran karena adanya pandangan bahwa pendidikan merupakan proses pencetakan tenaga kerja sehingga semasa tidak terjadi keseimbangan antara demand dan supply kemudian dianggap terjadi pengangguran selain itu juga karena mental lulusan pendidikan Indonesia berjiwa seeker job (pencari kerja), bukan creator job (pencipta kerja). Lain lagi kalau pandangan pendidikan itu bercorak bahwa pendidikan itu adalah proses humanisasi, dimana pendidikan diabdikan pada kemuliaan manusia, tentunya anggapan pengangguran menjadi tidak ada sebab dalam konteks ini ada tidaknya pengangguran tidak disangkutkan dengan tersedia tidaknya lapangan kerja. Abdul Munir Mulkhan (2001) barangkali menganggap bahwa pendidikan adalah proses yang digerakkan oleh spiritual pendidikan bukan kekuatan ektrinsik.


B.   Hakekat Pendidikan
Termitologi pendidikan merupakan terjemah dari istilah pedagogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani kuno paidos dan agoo. Paidos artinya ‘budak’ dan agoo artinya ‘membimbing’. Akhirnya, pedagogie diartikan sebagai budak yang mengantarkan anak majikannya untuk belajar. Dalam perkembangannya pedagogie dimaksudkan sebagai ‘ilmu mendidik’. Dalam khasanah teoritis pendidikan, ada yang membedakan secara tegas antara pendidikan dan pengajaran. Pembedaan tersebut umumnya didasarkan karena hasil akhir yang dicapai serta cakupan rambahan yang dibidik oleh kegiatan tersebut. Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan tersebut mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan sekaligus kepribdian, sedangkan pengajaran membatasi kegiatan pada transfer of knowledge yang kawasannya tidak membentuk kepribadian.

Dalam hal yang lebih spesifik, pendidikan yang erupakan aktivitas pembelajaran dalam bentuk interaksi edukatif (penyampaian ilmu pengetahuan dan afektif) dengan menempatkan peserta didik sebagai subyek pendidikan, masih juga endidikan dipersyaratkan untuk penunaian tugas yang mengarah pada upaya memberi arah dan watak pada peserta didik. Penunaian tugas perwatakan pada peserta didik tersebut dinamakan colouring (mochtar buchori, 2004:43). Tugas pembelajaran ini menekankan bahwa disamping hasil retensi (bekas yang tersangkut di otak) dari pembelajaran itu sendiri, juga harus membentuk ciri khas tersendiri.

Pendidikan dalam dimensi lain terutama dalam sudut pandang epistemologi dapat dimaknai sebagai ilmu yaitu ilmu mengajar yang sangat dekat dengan didaktik dan metodik. Didaktik dan metodik adalah ilmu tentang bagaimana cara mengajar. Pemaknaan pendidikan yang demikian berarti memaknakan pendidikan dalam pengertian pendidikan sebagai kata sifat. Sedang pemaknaan pendidikan sebagai kata kerja maka pendidikan adalah upaya pendewasaan anak didik. Lahirnya pendidikan formal dan sekolah sebenarnya menjadi kebutuhan historis dalam kehidupan manusia bahkan oleh keluarga sendiri sebagai tempat pertama dan utama dalam mendidik generasi muda. Kebutuhan akan pembelajaran sekolah karena keluarga sudah tidak sanggup lagi mendidik anak keturunannya dan menyerahkannya kepada lembaga formal yang dinamakan sekolah.

Dalam pandangan pendidikan sebagai kegiatan persekolahan, hakekat pendidikan dimaknakan sebagai kegiatan yang diupayakan oleh sekolah terhadap anak didik yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan sadar penuh akan hubungan-hubungan dan tugas sosial mereka. Dalam hal ini Mudyaharjo (2001:6-7) lebih merinci bahwa proses kegiatan pendidikan ditandai dengan :
a.     Masa pendidikan, masa pendidikan dilaksanakan dalam waktu terbatas yaitu masa periode masa anak dan dewasa.
b.     Lingkungan pendidikan, pendidikan berlangsung dalam lingkungan yang diciptakan khusus untuk menyelenggarakan pendidikan (kompleks sekolah). Secara teknis pendidikan berlangsung dikelas.
c.      Bentuk kegiatan, isi pendidikan tersusun secara terprogram dalam bentuk kurikulum. Kegiatan lebih berorientasi pada kegiatan guru sehingga guru mempunyai peran yang sentral dan menentukan. Kegiatan pendidikan terjadwal, tertentu waktunya, dan tempatnya.
d.     Tujuan, tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan terbatas pada pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tilaar (1999:41) yang menekankan bahwa pendidikan lebih condong kearah pembudayaan dengan argumentasi bahwa pendidikan sesungguhnya proses engantar peserta didik sebagai warga masyarakat yang harus beridentitas dan diterima didalam masyarakat. Beberapa definisi mengenai pendidikan sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :
1.     Menurut M.J. Langeveld : pendidikan adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju pada kedewasaan dan mandiri.
2.     Pendidikan adalah proses pembudayaan, proses kultural atau kultivasi untuk mengembangkan semua bakat dan potensi manusia guna mengangkat diri sendiri dan dunia sekitarnya pada taraf human, (menurut sebagian besar tokoh pendidikan humanis).
3.     Menurut Ernest Hemingway, pendidikan kegiatan yang harus berfungsi sebagai a built in shockproof crap detector, yaitu alat pendeteksi kebodohan dan keadaan yang kejap kejut atau tahan bantingan dan tetap.
4.     David Reisman, pendidikan adalah kegiatan ang harus berujud lembaga yang mampu counter cyclical, yaitu sekolah harus lebih banyak mengajukan dan menanamkan nilai dan norma-norma yang tidak banyak dikemukakaan oleh banyak lembaga sosial yang ada didalam masyarakat.
5.     Pendidikan adalah suatu komleks perbuatan yang sistematis untuk membimbing anak menuju pada pencapaian tujuan pendidikan. 
6.     Pendidikan adalah seni mengajar karena mengajarkan ilmu, ketrampilan dan pengalaman tertentu, orang akan melakukan perbuatan kreatif. Mendidik tidak semata-mata teknis, metodis dan mekanis mengoperkan skill pada anak tetapi merupakan kegiatan yang berdimensi tinggi dan berunsur seni yang bernuansa dedikasi, emosional, kasih sayang dalam upaya membangun dan membentuk kepribadian. Dinamakan seni karena kegiatan pendidikan dilandasi oleh rasa kemanusiaan, simpati, dan kecintaan.
7.       John Dewey, Education is all one with growing, it has no end beyond it self (Encyclopedia Americana, 1978).
8.     Pendididkan adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, sikap sosial dan ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Sisdiknas tahun 2001).
Kegiatan dinamika pendidikan apabila memiliki indikasi sebagai berikut :
1.     Ada pihak yang memberi dan menerima
2.     Mempunyai program pendidikan atau kurikulum
3.     Personifikasi pendidik

Selain pengkajian hakekat dan definisi pendidikan dalam pandangan ahli pendidikan, akan dikemukakan pula hakekat pendidikan dalam perspektif teori hakekat pendidikan. Secara dikotomis perspektif teori hakekat pendidikan dibedakan dalam dua klasifikasi besar yaitu Pendekatan Reduksionisme dan Pendekatan Holistik Integratif.

1.     Pendekatan Reduksionisme
Pendekatan tentang hakekat pendidikan ini dinamakan dengan reduksionisme karena dalam pandangannya berusaha menyederhanakan konsep pendidikan (reduksi) sehingga dapat mudah dipahami konsep pandangan yang ingin ditandaskan. Tilaar (1999:19-32) mengelompokkan pendekatan ini meliputi enam teori, yaitu :

a.     Pendekatan Pedagogisme
Pendekatan ini termasuk pendekatan sangat kuno sehingga titik tolaknya bertumpu dari teori Nativisme dari Schopenhauer yang berpendapat bahwa sesungguhnya peserta didik sejak awal telah mempunyai potensi yang siap dikembangkan sehingga tugas pendidikan adalah mengembangkan potensi secara optimal. 

Pendekatan yang sangat menekankan pada pengembangan potensi peserta didik ini telah melahirkan konsep child centered education (pendidikan berpusat pada anak). Pada satu sisi, peserta didik memang sangat positif namun sisi kelemahannya kemudian mengisolasikan peserta didik dengan kehidupan sosial karena terlalu menfokuskan pada pengembangan siswa.

b.    Pendekatan filosofis
Pendekatan ini bertitik tolak dari pertentangan mengenai hakekat manusia dan hakekat anak. Dalam padangan pendekatan ini anak berbeda dengan orang dewasa sehingga anak bukan orang dewasa yang berbentuk kecil. Pendekatan ini mengakui adanya norma-norma anak sehingga hakekat pendidikan adalah pelayanan edukasional yang iramanya sesuai dengan perkembangan irama anak bukan irama orang dewasa yang diperuntukkan anak-anak.

Pandangan yang banyak penganutnya di Eropa ini berkembang menjadi pandangan khas kontinental. Nampaknya pandangan ini mulai redup ketika muncul paham bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup.

c.      Pendekatan Religius 
Pendekatan tentang hakekat pendidikan ini memandang bahwa hakekatnya manusia adalah makhluk religi, sehingga kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang mengantarkan pada keadaan manusia sebagai makhluk ke Tuhanan.

Dalam rancangan udang-undang pendidikan Indonesia sangat ditekankan adanya terbentuknya peserta didik yang bertaqwa  serta berakhlak mulia sebab disadari bahwa ternyata pendidikan sekuler tidak menjamin adanya manusia yang etis. Pendekatan ini dalam kajian khusus mengenai filsafat pendidikan akan diperdalam melalui aliran Perenialisme.
d.    Pendekatan Psikologis
Permulaan abad 20 pendekatan ini memperoleh momentumnya ketika lahir ilmu pendidikan. Kuatnya pendekatan ini maka telah melahirkan pandangan pendidikan yang sangat behavioristik (mengacu pada tolok ukur perilaku) sehingga pengaruhnya sampai pada munculnya taksonomis Bloom.

Pendekatan psikologis merambah pada semua sektor pendidikan karena teori psikologis diadopsi kedalam ilmu pendidikan terutama dalam teori pendidikan terutama dalam teori belajar. Akibatnya seolah-olah pendidikan adalah teori belajar saja. Hakekat pendidikan adalah proses belajar sehingga pendidikan adalah pembelajaran peserta didik.

e.      Pendekatan Negativis
Menurut Negativisme ini ada tiga teori pendidikan yang sifatnya negatif. Pertama, teori yang menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah menjaga pertumbuhan anak. Hakekat pendidikan adalah mengisolasikan hal negatif dari siswa agar perkembangannya wajar.

Kedua, hakekat pendidikan adalah pembudayaan individu. Pandangan kedua tampak ada kontradiksi sebab tidak mungkin dengan langkah pertama (menjaga hal negatif) akan dapat dilakukan langkahpembudayaan mengingat pembudayaan membutuhkan interaksi sosial yang didalamnya akan penuh dengan pengaruh negatif.

Ketiga, hakekat pendidikan adalah melatih peserta didik menjadi warga negara yang berguna.

f.      Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini mengintrodusir bahwa hakekat pendidikan adalah diarahkan kepada kepentingan hidup bersama dalam masyarakat. Pendekatan ini memiliki argumentasi dalam memandang hakekat pendidikan atas realita bahwa peserta didik sesungguhnya anggota masyarakat yang kelak akan kembali kepada masyarakat.
Salah satu pendekatan sosiologisme yang sangat popular adalah konsiensialisme, yaitu konsepsi pendidikan yang bertujuan menumbuhkan kesadaran manusia tentang martabat dan kebebasan serta tidak menyerah kepada beragam penindasan. Pendidikan yang diskriminatif dan elitis dapat dihindarkan sebab pendidikan adalah proses pembebasan (Paulo Freire, 1972:19).

2.     Pendekatan Holistik
Berbeda dengan pendekatan Reduksionisme yang menggunakan orientasi utilitas serta partial, maka dalam pendekatan holistik ini akan diorientasikan secara komprehensif akan hakekat pendidikan. Hakekat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan internasional. Secara operasional hakekat pendidikan dalam perspektif holistik senantiasa memiliki komponen sebagai berikut.

1.     Pendidikan merupakan proses yang bersinambungan.
2.     Eksistensi manusia yang bermasyarakat.
3.     Proses pendidikan berarti menumbuh kembangkan eksistensi manusia.
4.     Proses pendidikan dala masyarakat yang membudaya.

Ruth Benedic menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk tingkah laku yang dapat dipelajari. Dengan demikian tingkah laku manusia diturunkan melalui pembelajaran dari generasi ke generasi selanjutnya. Dalam hal ini peranan pendidikan dalm pembentukan kepribadian peserta didik sangat urgen.

Kesimpulan :  Keragaman pendidikan yang terjadi di atas bumi ini disebabkan karena perbedaan cara memberikan makna terhadap pendidikan itu sendiri sebagai gejala sosial.

Di Indonesia, pendidikan merupakan proses yang multitujuan yang bertujuan, yaitu untuk penyiapan tenaga kerja, kepentingan politik maupun untuk karakter building.

Dalam masyarakat yang liberal, pendidikan dipandang sebagai kegiatan investasi sehingga penyelenggaraan pendidikan umumnya sangat mahal, sedangkan dalam masyarakat yang lain pendidikan dipandang sebagai proses civilisasi, yaitu proses untuk menjadikan anak didik sebagai warga masyarakat yang baik.

Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan tersebut mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan sekaligus kepribdian, sedangkan pengajaran membatasi kegiatan pada transfer of knowledge yang kawasannya tidak membentuk kepribadian.
Secara dikotomis perspektif teori hakekat pendidikan dibedakan dalam dua klasifikasi besar yaitu Pendekatan Reduksionisme dan Pendekatan Holistik Integratif.


1.     Pendekatan Reduksionisme
Dinamakan reduksionisme karena karena dalam pandangannya berusaha menyederhanakan konsep pendidikan (reduksi) sehingga dapat mudah dipahami konsep pandangan yang ingin ditandaskan. Tilaar (1999:19-32) mengelompokkan pendekatan ini meliputi enam teori, yaitu :
a.     Pendekatan Pedagogisme
Pendekatan yang sangat menekankan pada pengembangan potensi peserta didik ini telah melahirkan konsep child centered education (pendidikan berpusat pada anak).
b.     Pendekatan Filosofis
Dalam padangan pendekatan ini anak berbeda dengan orang dewasa sehingga anak bukan orang dewasa yang berbentuk kecil.
c.      Pendidikan Religius
Pendekatan tentang hakekat pendidikan ini memandang bahwa hakekatnya manusia adalah makhluk religi, sehingga kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang mengantarkan pada keadaan manusia sebagai makhluk ke Tuhanan.
d.     Pendidikan Psikologis
Pendekatan psikologis merambah pada semua sektor pendidikan karena teori psikologis diadopsi kedalam ilmu pendidikan terutama dalam teori pendidikan terutama dalam teori belajar. Akibatnya seolah-olah pendidikan adalah teori belajar saja.
e.      Pendekatan Negativis
Menurut Negativisme ini ada tiga teori pendidikan yang sifatnya negatif. Pertama, teori yang menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah menjaga pertumbuhan anak, Kedua, hakekat pendidikan adalah pembudayaan individu, Ketiga, hakekat pendidikan adalah melatih peserta didik menjadi warga negara yang berguna.
f.       Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini mengintrodusir bahwa hakekat pendidikan adalah diarahkan kepada kepentingan hidup bersama dalam masyarakat.


2.     Pendekatan Holistik
Secara operasional hakekat pendidikan dalam perspektif holistik senantiasa memiliki komponen : Pendidikan merupakan proses yang bersinambungan, Eksistensi manusia yang bermasyarakat, Proses pendidikan berarti menumbuh kembangkan eksistensi manusia, Proses pendidikan dala masyarakat yang membudaya.



Bab 5
VISI DAN MISI PENDIDIKAN

A.   Pendahuluan
Pendidikan nasional mempunyai visi terwujunya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Karena visi tersebut amat luas kemudian dijabarkan menjadi beberapa misi. Yang disebut misi adalah rumusan jangka pendek, mudah dicapai untuk menuju tujuan jangka panjang (visi bersifat multidimensi, abstrak, dan tinggi).

1.     Visi
Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berakhlak, berkeahlian, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berdasarkan hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.

2.     Misi
Untuk mewujudkan visi pendidikan nasional, pemuda, dan olahraga ditetapkan misi yang menjadi sasaran pembangunan pendidikan nasional, pemuda, dan olahraga, yaitu sebagai berikut:

·                      Mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggungjawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

·                      Mewujudkan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian, dinamis, kretaif, dan berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi.

·                      Meningkatkan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan, dan mantapnya persaudaraan antarumat beragama yang berakhlak mulia, toleran, rukun, dan damai.

·                      Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dalam rangka memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.

Berdasarkan pada visi dan misi pendidikan tersebut kemudian disusunlah tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara, yang demokratis, bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan diperlukan strategi pembangunan pendidikan dalam UU Sisdiknas 2003 disebutkan beberapa strategi nasional adalah :
1.     Pelaksanaaan pendidikan agama serta pembentukan akhlak mulia.
2.     Pengembangan dan pelaksanaan Kurikulum berbasis kompetensi.
3.     Proses pembelajaran yang dialogis dan mendidik.
4.     Peningkatan profesional tenaga kependidikan.
5.     Pembiayaan pendidikan yang berdasar prinsip pemerataan dan berkeadilan.
6.     Pelaksanaan wajib belajar.
7.     Pelaksanaan otonomi managemen pendidikan.
8.     Pemberdayaan peran serta masyarakat.
9.     Pembudayaan dan pembangunan masyarakat.
10.            Pengawasan dalam pelaksanaan sisdiknas.




B.   Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen utama dari sistem pendidikan. Dengan tujuan pendidikan, diharapkan proses pendidikan dapat mencapai hasil secara efektif dan efisien. Apabila tujuan pendidikan tidak digariskan secara tegas maka pendidikan akan mengalami ketidakpastian dalam prosesnya, yang akibatnya manusia sebagai out-put pendidikan tidak memiliki patokan atau pedoman hidupluhur yang sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia.

1.     Manfaat Tujuan Pendidikan
a.     Dengan adanya tujuan, arah yang akan dicapai oleh serangkaian kegiatan pendidikan menjadi jelas.
b.     Dengan adanya tujuan pendidikan yang jelas, akan didapatkan titik tolak untuk berkomunikasi dengan semua pihak yang berkepentingan.
c.      Dengan tujuan pendidikan yang jelas, merupakan kerangka dan digunakan dalam rencana kegiatan akademik.

2.     Tujuan , Filsafat dan Pendidikan
Pendidikan selalu memiliki watak yang dicerminkan oleh keadaan dan sifat masyarakat. Karena sifat masyarakat berbeda-beda, maka dengan sendirinya berbeda pula tujuan pendidikannya.

Filsafat dan pendidikan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena filsafat merupakan segi pemikirannya dan pendidikan segi aktif dinamisnya. Filsafat mencakup nilai-nilai yang dijunjung tinggi yang dijadikan pedoman dalam setiap kegiatan pendidikan.



C.   Dasar Pendidikan
A. PengertianPendidikan :
  • Suatuprosespertumbuhan yang menyesuaikandenganlingkungan.
  • Suatupengarahandanbimbingan yang diberikankepadaanakpadapertumbuhannya.
B. RuangLingkupPengertianPendidikan :
Ruanglingkuppengertianpendidikanmeliputipendidikan Informal ( keluarga ), Formal ( sekolah ), Non formal ( kegiatanpendukung).
C. FungsiPendidikan
  • Fungsi dalam arti mikro (membantuperkembanganrokhanidanjasmanianakdidik)
  • Fungsidalamartimakro ( sebagaialatperkembanganpribadi )
D. Aliran – aliranDalamPendidikan
  • Alirannativisme
  • Aliranempirisme
  • Alirannaturalisme
  • Alirankonvergensi
E . Batas – Batas Pendidikan
  • Faktoranak, pendidik, jarakantarapendidikdanpesertadidik, lingkungantempatanakhidup .
F . Faktor – FaktorPendidikan
  • Faktortujuan, pendidik, pesertadidik, isi/msteripendidikan, metodependidikan, situasilingkungan .
G . Alat – AlatPendidikan
  • Alatpendidikan yang bersifatrokhaniah
  • Alatpendidikan yang bersifatkebendaan
H . BeberapaPrinsipPelaksanaanPendidikan
  • Pesertadidiksebagaiindividu yang berkembang
  • Kebebasandanketerikatanpesertadidik
  • Faktormotivasidalampendidikan
  • Asaaktivitasdalmkegiatanpendidikan
I . PendidikanSebagaiSatuSistem
  • Unsur – unsursuatukegiatan
  • Pengertiansistem
  • Elemenusahapendidikan
  • Salinghubunganantarelemen
  • Pencapaian tujuan yang diinginkan
  • Sistem pendidikan dalam kerangka yang lebih luas
 REFLEKSI :
Pendapatsaya bahwa pendidikan adalah : suatu proses dimana suatu individu mengembangkan kemampuan baik secara rokhani maupun jasmani, dimanasemua hal tersebutdapat terjadi apabila adanya suatu interaksi antara pendidik dan siterdidik baik dalam kelurga, sekolah, maupun bidang pendukung “ ekstrakulikuler”.
Dalamhalpendidikanperluadanyasuatuprosesdukunganbagisiterdidikuntukdapatmemajukankemampuan yang adadalamdirinya. Dalamhalinikeluarga, sekolahdanlingkungansangatmempengruhisifat, sikap, tingkahlakuakanperkembangansiterdidik.
 B . LANDASAN FILOSOFIK PENDIDIKAN
A . TinjauanOntologikPendidikan
Usaha manusiauntukmengertidirinyaituadalahusahalebihjauh, atautermasukbidangontologi.
Aliranmonisme ( pahammaterialisme, danpahamidealisme )
Alirandualisme
B . Tinjauanepistemologikpendidik
Dilemainidimaksudkanuntukmenunjukanciriutama problem ilmupengetahuan
Jadipersoalannyasungguh – sungguhtentanghakekattahuataukesadarantentangpengetahuan.
Pendidikandanpengajaranterutamadianggapsebagaisuatuprosespembinaanilmupengetahuan. Dan ilmupengetahuandimaksudterutamasebagai “ knowledge as subject matter in the curriculum “ ( Brubacher, 1962 : 92 ).
 C . TinjauanAksiologikPendidikan
Manusiaadalahmakhlukbudayadanmakhluksosial.
Pembagiantingkatperkembangankebudayaanmanusiamenurut August Comte atas :
Tingkat teologis
Tingkat metafisis
Tingkat positif
Asas – asasumum yang universal yang dapatdipandangsebagaiprinsipumummeliputi :
Melaksanakankewajibandengandasarikhtikadbaik
Menghormatiperasaanorang lain
Selaluberusahamenyumbangkanide - ide
Akanmenerimahaknyasemata – matasebagaisuatupenghormatan
 REFLEKSI :
Dalampembahasan kali inisayamemahamiakansuatuperkembanganakanemosionaldiriterhadaporang lain ( sipendidikterhadapsiterdidik ).
Disinikitaharusmenciptakannilai – nilaiantarapengajardan yang diajar, dimanaharusadanyasuatutanggungjawab, perlakuanbaik, salingmenghormatiantarakeduabelahpihak.
pendidikan bukan sematamemberimaterimelainkankitasebagaipengajarwajibmemberikansuatupemahaman, pengetahuan yang dimanadapatmampumengembangkantingkatkecerdasandanemosionalsiterdidik
 C . LANDASAN PSIKOLOGIK PENDIDIKAN
A . Hukum – hukumperkembangan
  • Psikologsebagaisalahsatucabangilmupengetahuanberfungsisebagaimemahami, meramalkan, danmengontroltingkahlakumanusia.
  • Sukum – hukumperkembangan yang pentinguntukdiketahuipendidik :
  • Prosesbelajartergantungpadatingkatkematangan yang dicapaiindividu
  • Prosesperkembanganindividumenujukearahdiferensiasisistemrespons
  • Setiapindividumemiliki tempo perkembanganmasing – masing
  • Perkembanganindividumemilikipolaumum
B . Faseperkembanganindividu
  • Masa prenatal
  • Masapermulaankehidupanbayi
  • Masabayi
  • Masaanakkecil
  • Masaprasekolah
  • Masakanak – kanak
  • Masaadolesensi
C . Teoribelajar
Teoribelajarbanyakbermunculan yang dapatdikategorikanmenjadisepuluhmacamdandikategorikanmenjadi :
Teoridisiplin mental
Rumpunbehaviorisme
Rumpun gestalt – medan
Adatiga model guru dalmmenghadapikesepuluhteoribelajar, yaitu :
Mengikutisatuteoritertentusajabalajar
Bersikapelektik
Menyintesakanbagian – bagiandariteoribelajartertentusesuaidenganidenyasendiri
Tiapteoribelajarmemiliki :
Konsepdasartentang moral manusia
Pandangantentangsikapdasartindak – tandukmanusia
Transfer belajar yang dianut
Tekanandalamprosesmengajar
Tokoh – tokohpengembangannya
REFLEKSI :
Psikologipendidikanberfungsigunamengontrol, meramalkan, danmengontroltingkahlakumanusia.
Teoribelajarberfungsisebagaialatpengontrolcarapenyampaiandanpenyajiangunamemahamiakansuatupembelajaran.
Dalampembelajaransebaiknyaharusmemilikisuatucara agar dimanasiterdidikdapatmemahamipelajaran yang kitasampika.
Pembelajaransendiridapatditerimaolehsiterdidikbukanhanyafaktordarikitasebagaipengajarmelainkandariindividuitusendiri, keluarga, dansuatumasyarakatdimanatempatanakdidiktinggal.
 D . LANDASAN HISTORIK PENDIDIKAN
SerapanPendidikan Indonesia :
DalampendidikanseluruhduniaterdapatpengaruhdariCinakuno, India kuno, danYunanikuno.
Dari Cinakunodiperolehsistemujianbagicalonpegawaidanpejabat.
Dari India kunodiperolehpendidikanwatakdankerokhanian
dariYunanikunodiperolehpendidikanharmonisantararrokhanidanjasmani, sertapendidikandemokratis
Pengaruhdarinegribaratyaitu : aliran – aliranbarudalampendidikanantara lain ( pendidikannormatif, deskriptif, danpendidikansosial modern
  Pendidikan Di zamanpenjajahan
  • PadamasapenjajahanBelanda ( 1600 – 1942 ) dimanpendidikanpadamasainicenderungbersifatindividualisdanintelektualis. Kepandaianuntukkepentingandirisendiridiutamakan.
  • disiniterjadisifatdistriminatifdimanaadanyapenggolonganbagiparapesertadidik.
  • Pemupukansemangatpadagenerasimudaterjadiawalabad 20. hasilnyadapatdilihat 45 tahunkemudian, yaitukeberanianuntukmemproklamasikankemerdekaan Indonesia.
  • PadapenjajahanJepangditahun 1942 disiniterjadisuatuperubahandimanabahasa Indonesia dijadikanbahasapengantardisekolah.
  REFLEKSI :
Kita ketahuibahwabangsa Indonesia telahamatberjuanguntukmendapatkankemerdekaan Indonesia, dimanasaatitupunpendidikanamattabuh. Hinggasuatusaattersosongsemangatuntukmemperjuangkanbangsadanpendidikanindonesia. Dalamhalnipendidikanmerupakansuatu yang amatharusditegakandalamdirimasyarakatkarnapendidikandapatmenciptakansuatumendasarbagiperkembangan mental danrokhanijiwabagisiterdidik.
Sebuahpendidikanharussangatdidasariolehsemangatdarisipendidikdansiterdidikjugadibantudengankeluargadanlingkungandidalamnya.
  E . LANDASAN HUKUM PENDIDIKAN
Masyarakat/Negara dengansistemkenegaraansebagaikelembagaan formal penentukebijakanpendidikannasional
  • Dalamhaliniberasaskan :
  • PANCASILA
  • GBHN
  • UUD 1945
Pendidikannasionaldanketentuan – ketentuan yang mengikatdalampelaksanaannya ( landasankonstitusional )
  • pernyataanbahwasistempendidikannasionalbertujuanmembentukmanusiaPancasila, secarayuridik formal dapatdikajiantara lain darireferensiberikut :
  • UUD 1945 Bab XIII, Pasal 31 dan 32
  • UUD Pendidikan No. 12/1954 pasal 3 dan 4
  • Tap MPRS No. XXVII/MPRS/ 1966 Bab II Pasal 3
  • Tap MPR No. IV/MPR/1978
  • Tap MPR No. II/MPR/1988
  Hukumoperasionalsistempendidikannasional
  • denganadanyalandasan ideal dansistempendidikannasional, makaarahpendidikannasionaltidakbolehmenyimpangdaripembentukanmanusiaPancasiladangeraknya pun berdasarkanPancasiladan UUD 1945
  • Peraturanpemerintah yang mempunyaikekuatanhukumsebagaipenhendali, pengarahjalannyapendidikannasional, adalah :
  • undang – undang / peraturanpemerintah
  • Instruksipresiden / pidatopresiden
  • Kebijakanmentripendidikandankebudayaan
  • GBHN
  REFLEKSI :
Landasanpendidikanberfungsisebagaipengontolgebrakanbagiprosespendidikan yang lebihefisiendanmemilikikekuatantersendiri.
Suatupendidikanharusmemilikinilai – nilaididalamnyaseperti, Pancasila, GBHN, UUD 1945. suatulandasaninibergunasebagaitolakdankinerjapendidikandi Indonesia.
Pendidikanbergunasebagaipenciptagenerasimanusiauntukmengembangkankepribadiandankemampuanikutberpartisipasidalampembangunanuntukmencapaikesejahteraanmasyarakatdan Tanah air.
Terkadangamatmiriskitalihatakanmasihbanyakmasyarakat yang masihtertinggaldalamduniapendidikandikarenakansuatutanggunganbiaya, padahalpadapasal 31 ayat 1 dan 2 telahdikemukakanbahwa TIAP WARGA NEGARA BERHAK MENDAPAT PENGAJARAN

  F . LANDASAN SOSIOLOGIK PENDIDIKAN
Hubungantimbal – baliklembagapendidikandanlembagasosial lain dapatdikemukakanhukumrelasisekolahdanmasyarakat yang dikemukakanoleh Wild danLottichpadabukunya The Faundation of modern education antara lain sebagaiberikut :
  • perubahanlingkunganfisik,sosial, politik, danekonomimenentukanataumembawaperubahankonsepsimanusiatentangkehidupan
  • Perubahankonsepsidantujuanpendidikanmerupakanakibat, yang ditentukanolehsuatuusahaperubahanuntukpenyesuaianterhadapperubahanlingkungandantujuanhidupmanusia ( TIM Dosen IKIP Malang, 1980 : 75 – 76 )
Masyarakatmemilikicirikhusus yang khasbagimasyarakat yang bersangkutan. Ciritersebuttercerminantara lain dalam :
  • Nilai – nilaisosialdankebudayaanmasyarakat yang bersangkutan
  • Pandanganhidup
  • Pengaruh IPTEK
  Pernyataanbeahwasistempendidikannasionalkitabertujuanmembentukmanusiapancasilasecarayuridik formal dapatdikajiantara lain darirefrensiberikut :
  • UUD 1945 Bab XIII Pasal 31 Ayat 1 DAN 2
  • Pasal 32
  • UUD Pendidikan No. 12 / 1954 pasal 3 dan 4
  • Tap MPRS No. XXVII / MPRS 1966 Bab II pasal 3 tentangDasarpendidikan
  • Tap MPR No. IV / MPR / 1978
  • Tap MPR II / MPR / 1988
Hukumoperasionalsistempendidikannasional :
  • UUD / Peraturanpemerintah
  • InstruksiPresiden / pidatoPresiden
  • Kebijakanmentripendidikandankebudayaan
  • GBHN
KebijakanMentripendidikan :
  • Pembaharuanpendidikan
  • Gerakansistempendidikannasionalberorientasipada GBHN ( SOSPOLTEK )
 REFLEKSI :
Hubungantmasyarakatdenganpendidikansangateratdansalingmembutuhkan
Pendidikanbukansuatu yang monotondalampenyampaiannyamelaikanpendidikanharusberkembangdenganperkembanganzaman yang amatcepatini.
Landasanutama yang dapatmempengaruhipendidikansalahsatunyaadalahmasyarakat. Dimanafakoriniamatberperaninterperensif yang amatdalamdalampengembangannya.
  G . KELEMBAGAAN PENDIDIKAN
Lembagapendidikankeluarga :
  • Keluargamerupakanlingkunganpertamabagianak,pertama yang akandidapatkannyaadalahpengaruhsadar.
  • Fungsilembagapendidikankeluarga :
  • Merupakanpengalanpertamabagianak – anak
  • Dapatmenjaminkehidupanemosional
  • Terbentukpendidikan moral
  • Membangunmakhlukindividu yang kompetitif.
Lembagapendidikanmasyarakat :
  • Pendidikanmasyarakatdapatmemberikankemampuan :
  • Profesionaluntukmengembangkankarirmelaluikhursuspenyegaran
  • Kemampuantekhnisakademikdalamsuatusistempendidikan
  • Kemampuanmengembangkankehidupanberagama
  • Kemampuanmengembangkankehidupansosialbudaya
  • Keahliandankemampuandalamsistemmagang
  Lembagapendidikansekolah :
Pendidikansekolahadalahjenispendidikanberjenjang, berstrukturdanberkesinambungan, sampaidenganpendidikantinggi
Dimanaterdapatjenjangpendidikan (tahappendidikan yang berkelanjutan ) antara lain : pendidikandasar, menengahdantinggi
  REFLEKSI :
Disinibenaradanyaakanpentingnyapendidikandalam :
Keluarga, dimanalembagakeluargadisiniberperansebagaipenataremosionalbagisiswadanpembelajaranakanmengenalakankehidupan, dansebagaipengenalansecarareligius.
Masyarakat, dimanalembagadalammasyarakatberfungsisebagaisuatu media tambahanpengaruhbagiperkembanganemosionalanak, agama, danpengalamanketerampilandalammagang.
Sekolah, dimanadalamlembagasekolahsebagaiperanpenggantidanpenunjangdarilembagakeluargadanlembagamasyarakat. Lembagasekolahmerupakanlembaga yang berjenjangantara lain : dasar, menengah, danatas.

D.   Asas-asas Pendidikan

     Sebelum kita membicarakan tentang asas-asas pendidikan yang berlaku di Indonesia, terlebih dahulu kita memiliki kesatuan pendapat tentang arti asas pendidikan. Asas pendidikan memiliki arti hukum atau kaidah yang menjadi acuan kita dalam melaksanakan kegiatan pendidikan.
 Dalam masalah ini, berturut-turut akan kita bicarakan dua asas pendidikan yang berlaku di Indonesia: (1) asas Tut Wuri Handayani, dan (2) asas Belajar Sepanjang Hayat.

Asas Tut Wuri Handayani
 Asas Tut Wuri Handayani merupakan gagasan yang mula-mula dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara seorang perintis kemerdekaan dan pendidikan nasional. Tut Wuri Handayani mengandung arti pendidik dengan kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak mencari jalan sendiri, dan bila anak melakukan kesalahan baru pendidik membantunya (Hamzah, 1991:90). Gagasan tersebut dikembangkan Ki Hajar Dewantara pada masa penjajahan dan masa perjuangan kemerdekaan. Dalam era kemerdekaan gagasan tersebut serta merta diterima sebagai salah satu asas pendidikan nasional Indonesia (Jurnal Pendidikan, No. 2:24).
 Asas Tut Wuri Handayani memberi kesempatan anak didik untuk melakukan usaha sendiri, dan ada kemungkinan mengalami berbuat kesalahan, tanpa ada tindakan (hukuman) pendidik (Karya Ki Hajar Dewantara, 1962:59). Hal itu tidak menjadikan masalah, karena menurut Ki Hajar Dewantara, setiap kesalahan yang dilakukan anak didik akan membawa pidananya sendiri, kalau tidak ada pendidik sebagai pemimpin yang mendorong datangnya hukuman tersebut. Dengan demikian, setiap kesalahan yang dialami anak tersebut bersifat mendidik. Menurut asas tut wuri handayani (1) pendidikan dilaksanakan tidak menggunakan syarat paksaan, (2) pendidikan adalah penggulowenthah yang mengandung makna: momong, among, ngemong (Karya Ki Hajar Dewantara, hal. 13). Among mengandung arti mengembangkan kodrat alam anak dengan tuntutan agar anak didik dapat mengembangkan hidup batin menjadi subur dan selamat. Momong mempunyai arti mengamat-amati anak agar dapat tumbuh menurut kodratnya. Ngemong berarti kita harus mengikuti apa yang ingin diusahakan anak sendiri dan memberi bantuan pada saat anak membutuhkan, (3) pendidikan menciptakan tertib dan damai (orde en vrede), (4) pendidikan tidak ngujo (memanjakan anak), dan (5) pendidikan menciptakan iklim, tidak terperintah, memerintah diri sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri (mandiri dalam diri anak didik.

Asas Belajar Sepanjang Hayat
 Pendidikan Indonesia bertujuan meningkatkan kecerdasan, harkat, dan martabat bangsa, mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri hingga mampu membangun diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, memenuhi kebutuhan pembangunan dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa (GBHN, 1993:94). Gambaran tentang manusia Indonesia itu dilandasi pandangan yang menganggap manusia sebagai suatu keseluruhan yang utuh, atau manusia Indonesia seutuhnya, keseluruhan segi-segi kepribadiannya merupakan bagian-bagian yang tak terpisahkan satu dengan yang lain atau merupakan suatu kebulatan. Oleh karena itu, pengembangan segi-segi kepribadian melalui pendidikan dilaksanakan secara selaras, serasi, dan seimbang. Untuk mencapai integritas pribadi yang utuh harus ada keseimbangan dan keterpaduan dalam pengembangannya.
 Keseimbangan dan keterpaduan dapat dilihat dari segi: (1) jasmani dan rohani; jasmani meliputi: badan, indera, dan organ tubuh yang lain; sedangkan rohani meliputi: potensi pikiran, perasaan, daya cipta, karya, dan budi nurani, (2) material dan spiritual; material berkaitan dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang memadai; sedangkan spiritual berkaitan dengan kebutuhan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sedalam-dalamnya dalam kehidupan batiniah, (3) individual dan sosial; manusia mempunyai kebutuhan untuk memenuhi keinginan pribadi dan memenuhi tuntutan masyarakatnya, (4) dunia dan akhirat; manusia selalu mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan keyakinan agam masing-masing, dan (5) spesialisasi dan generalisasi; manusia selalu mendambakan untuk memiliki kemampuan-kemampuan yang umumnya dimiliki orang lain, tetapi juga menginginkan kemampuan khusus bagi dirinya sendiri.
 Untuk mencapai integritas pribadi yang utuh sebagaimana gambaran manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan nilai-niai Pancasila, Indonesia menganut asas pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat memungkinkan tiap warga negara Indonesia: (1) mendapat kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dan kemandirian sepanjang hidupnya, (2) mendapat kesempatan untuk memanfaatkan layanan lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat. Lembaga pendidikan yang ditawarkan dapat bersifat formal, informal, non formal, (3) mendapat kesempatan mengikuti program-program pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuan dalam rangka pengembasngan pribadi secara utuh menuju profil Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan (4) mendpaat kesempatan mengembangkan diri melalui proses pendidikan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989.

PENERAPAN ASAS-ASAS PENDIDIKAN
 Sebagaimana telah dibicarakan dalam bahasan terdahulu ada dua asas-asas utama yang menjadi acuan pelaksanaan pendidikan, yakni: (1) Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan (2) Asas Tut Wuri Handayani.
 Untuk memberi gambaran bagaimana penerapan asas-asas tersebut di atas berturut-turut akan dibicarakan: (1) keadaan yang ditemui sekarang, (2) permasalahan yang ada, dan (3) pengembangan penerapan asas-asas pendidikan.

Keadaan yang Ditemui Sekarang
 Dalam kaitan asas belajar sepanjang hayat, dapat dikemukakan beberapa keadaan yang ditemui sekarang: (1) usaha pemerintah memperluas kesempatan belajar telah mengalami peningkatan. Terbukti dengan semakin banyaknya peserta didik dari tahun ke tahun yang dapat ditampung baik dalam lembaga pendidikan formal, non formal, dan informal; berbagai jenis pendidikan; dan berbagai jenjang pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi, (2) usaha pemerintah dalam pengadaan dan pembinaan guru dan tenaga kependidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang agar mereka dapat melaksanakan tugsnya secara proporsional. Dan pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas hasil pendidikan di seluruh tanah air. Pembinaan guru dan tenaga guru dilaksanakan baik didalam negeri maupun diluar negeri , (3) usaha pembaharuan kurikulum dan pengembangan kurikulum dan isi pendidikan agar mampu memenuhi tantangan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas melalui pendidikan, (4) usaha pengadaan dan pengembangan sarana dan prasarana yang semakin meningkat: ruang belajar, perpustakaan, media pengajaran, bengkel kerja, sarana pelatihan dan ketrampilan, sarana pendidikan jasmani, (5) pengadaan buku ajar yang diperuntukan bagi berbagai program pendidikan masyarakat yang bertujuan untuk: (a) meningkatkan sumber penghasilan keluarga secara layak dan hidup bermasyarakat secara berbudaya melalui berbagai cara belajar, (b) menunjang tercapainya tujuan pendidikan manusia seutuhnya, (7) usaha pengadaan berbagai program pembinaan generasi muda: kepemimpinan dan ketrampilan, kesegaran jasmani dan daya kreasi, sikap patriotisme dan idealisme, kesadaran berbangsa dan bernegara, kepribadian dan budi luhur, (8) usaha pengadaan berbagai program pembinaan keolahragaan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anggota masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatanolahraga untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran serta prestasi di bidang olahraga, (9) usaha pengadaan berbagai program peningkatan peran wanita dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia; peningkatan ilmu pngetahuan dan teknologi, ketrampilan serta ketahanan mental.
 Sesuai dengan uraian di atas, maka secara singkat pemerintah secara lintas sektoral telah mengupayakan usaha-usaha untuk menjawab tantangan asas pendidikan sepanjang hayat dengan cara pengadaan sarana dan prasarana, kesempatan serta sumber daya manusia yang menunjang.
 Dalam kaitan penerapan asas Tut Wuri Handayani, dapat dikemukakan beberapa keadaan yang ditemui sekarang, yakni (1) peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan yang diminatinya di sema jenis, jalur, dan jenjang pendidikan yang disediakan oleh pemerintah sesuai peran dan profesinya dalam masyarakat. Peserta didik bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri, (2) peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan kejuruan yang diminatinya agar dapat mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan kerja bidang tertentu yang diinginkannya, (3) peserta didik memiliki kecerdasan yang luar biasa diberikan kesempatan untuk memasuki program pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan gaya dan irama belajarnya, (4) peserta didik yang memiliki kelainan atau cacat fisik atau mental memperoleh kesempatan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan cacat yang disandang agar dapat bertumbuh menjadi manusia yang mandiri, (5) peserta didik di daerah terpencil mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan ketrampilan agar dapat berkembang menjadi manusia yang memiliki kemampuan dasar yang memadai sebagai manusia yang mandiri, yang beragam dari potensi dibawah normal sampai jauh diatas normal (Jurnal Pendidikan,1989)

Masalah Peningkatan Mutu Pendidikan
 Kebijakan peningkatan mutu pendidikan tidak harus dipertimbangkan dengan kebijaksanaan pemerataan pendidikan. Karena peningkatan kualitas pendidikan harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Pendidikan bertujuan membangun sumber daya manusia yang mutunya sejajar dengan mutu sumber daya manusia negara lain.
 Pemerintah mengusahakan berbagai cara dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, antara lain: (1) Pembinaan guru dan tenaga pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan, (2) Pengembangan sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, (3) Pengembangan kurikulum dan isi pendidikan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta pengembangan nilai-nilai budaya bangsa, (4) Pengembangan buku ajar sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan budaya bangsa.
Sesuai dengan uraian diatas secara singkat dapat dikemukakan: dalam menghadapi masalah peningkatan sumber daya manusia sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pemerintah telah dan sedang mengupayakan peningkatan: mutu guru dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan, mutu kurikulum dan isi kurikulum sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan nilai-nilai budaya bangsa.

Masalah Peningkatan Relevansi Pendidikan
 Kebijaksanaan peningkatan relevansi pendidikan mengacu pada keterkaitannya dengan: ke-bhineka tunggal ika-an masyarakat, letak geografi Indonesia yang luas, dan pembangunan manusia Indonesia yang multidimensional.
 Pemerintah telah dan sedang mengusahakan peningkatan relevansi penyelenggaraan pendidikan yang efektif dan efisien (1) meningkatkan kemudahan dalam komunikasi informasi antara pusat–daerah, daerah–daerah, agar arus komunikasi informasi pembaharuan pendidikan berjalan lancar, (2) desiminasi–inovasi pendidikan: kelembagaan’ sumber daya manusia, sarana dan prasarana, proses belajar mengajar yang dilaksanakan secara terpadu, dan (3) peningkatan kegiatan penelitian untuk memberi masukan dalam upaya meningkatkan relevansi pendidikan.
 Sesuai dengan uraian diatas secara singkat dapat dikemukakan: dalam upaya meningkatkan relevansi pendidikan, pemerintah melakukan berbagai upaya (1) usaha menemukan cara baru dan pemanfaatan teknologi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang beragam, (2) usaha pemanfaatan hasil penelitian pendidikan bagi peningkatan kualitas kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan (3) usaha pengadaan ruang belajar, ruang khusus (bengkel kerja, konseling, pertemuan, dan sebagainya) yang menunjang kegiatan pembelajaran. 











Bab 6
UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN

A. PESERTA DIDIK

1.  Pengertian Anak dan Peserta Didik ( Anak Didik)
Pengertian tentang anak baik dari segi ilmu pengetahuan maupun agama meliputi :
Ø Anak ialah individu yang mempunyai potensi fisik dan psikis
Ø Anak ialah individu yang membutuhkan bantuan
Ø Menurut Aristoteles,anak ialah individu yang berada pada usia 0 ; 0 - 7 ; 0 ( Agus Sujanto, 1997 )
Ø Anak diartikan sebagai kabar baik
     “ Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang seperti dia “. ( Q.S. Maryam : 7 )
Ø Anak diartikan sebagai keturunan sekaligus sebagai hiburan
Ø Anak diartikan sebagai perhiasan hidup di dunia
     “ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…”
              ( Q.S. Al Kalfi : 74 )

     Siapakah peserta didik atau anak didik itu?
              Anak didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik dari segi fisik maupun dari segi mental psikologis dan dalam perkembanganya tersebut dibutuhkan beberapa pendekatan yang berbeda.

     Kewajiban mendidik anak berlaku kepada siapa saja baik orangtua dalam keluarga, guru dalam sekolah serta pemimpin umat dan pemimpin organisasi dalam masyarakat. Sebagaimana firman Allah : “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. ( Q.S. Al Tahrim : 6 ).

2.  Persamaan dan Perbedaan Individu

     Setiap individu pada dasarnya memiliki potensi untuk segala macam perkembangan. Perbedaan individu yang tampak dalam sikap dan sifat-sifatnya ialah karena perbedaan kesempatan berkembang yang diberikan kepadanya untuk memperoleh hasil yang semaksimal mungkin. Oleh karenanya tugas pendidikan disini ialah supaya setiap individu mempunyai kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensinya. Selain itu melalui pengalaman, latihan dan pengaruh luar lainnya dapat mrnimbulkan perbedaan dalam proses perkembangan setiap anak.
     Garry ( 1963 ) dan Sunarto ( 1995 ) mengkategorikan perbedaan individu ke dalam berbagai bidang yaitu :

a.     Perbedaan fisik meliputi     : usia, tinggi dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran, penglihatan, kemampuan bertindak dan sebagainya.
b.     Perbedaan sosial meliputi   : status ekonomi, agama, hubungan keluarga, suku dan sebagainya.
c.      Perbedaan kepribadian meliputi : watak, moral, minat dan bakat.
d.     Perbedaan kecakapan atau kepandaian di sekolah


3.  Peserta Didik dan Permasalahannya
          Permasalahan anak didik dapat di lihat dari :
a.     Sifat Kepribadian dan Kemampuan Anak Didik      : sifat kepribadian seseorang di tandai dan di pengaruhi oleh potensi dari dalam diri sebagai warisan yang di terima dari kedua orangtua dan pengaruh lingkungan dimana dia tumbuh dan berkembang.
b.     Bentuk Kegiatan       : bentuk kegiatan yang dilakukan pada umumnya menentukan kesukaan dan tingkat partisipasi yang diharapkan
c.      Situasi Lingkungan   : situasi lingkungan yang kurang baik mempengaruhi peran serta untuk bersikap aktif dalam melakukan kewajibannya.
d.     Pengalaman Anak Didik     : pengalaman anak didik adalah fenomena yang sangat menentukan partisipasinya. Anak didik yang sudah berpengalaman akan lebih mudah memecahkan suatu permasalahan. Pengalaman tersebut merupakan modal yang paling baik untuk melatih anak berfikir kritis.

B. Pendidik
    
     1.  Pengertian Pendidik
                 Pendidik dalam arti sederhana adalah semua orang yang dapat membantu perkembangan kepribadian seseorang dan mengarahkannya pada tujuan pendidikan. Pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan atau melatih peserta didik (UU RI No. 2  Th.1989 Sisdiknas).

2.  Kepribadian Guru
          Menekuni bidang profesi guru berarti seseorang harus menyadari bahwa tugas utamanya disamping mengajar juga mendidik. Seorang guru harus terlebih dahulu memiliki kepribadian yang utuh, harmonis, dan dinamis.
Ciri-ciri yang seharusnya dimiliki oleh seorang pendidik ialah:
a.     Taqwa kepada Allah
b.     Memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang baik
c.      Memiliki kemampuan dan ketrampilan teknik
d.     Mampu memelihara dan mengembangkan Kode Etik Guru
e.      Melaksanakan tugas secara ikhlas

3.  Tugas Pendidik
          Menurut Muri Yusuf (1996) guru sebagai pendidik memiliki tugas antara lain sbb:
a.     Mendorong dinamika dalam pergaulan ke arah yang lebih positif dan terpadu.
b.     Mengorganisir pergaulan dengan baik sehingga berubah menjadi satu situasi dan tata hubungan antar individu yang memungkinkan komunikasi timbal-balik antara pendidik (guru) dengan anak didik.
c.      Mengenal anak didik secara lebih baik, dengan menemukan pembawaan dan kemampuan yang ada pada dirinya.
d.     Mengadakan evaluasi secara berkesinambungan terhadap perkembangan anak didik.
e.      Membatasi perkembangan buruk pada diri anak dan menyalurkan ke arah yang positif.
f.       Membantu anak didik dalam situasi pergaulan yang bersifat mendidik untuk mengembangkan segala potensi yang ada dalam dirinya.
g.     Mengajak anak bertanggung jawab dan menyuruhnya berperan aktif dalam situasi pergaulan yang bersifat mendidik.

4.  Arti dan Fungsi Guru Muhammadiyah
Guru Muhammadiyah adalah seorang guru yang mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah, maupun yang diangkat langsung oleh Persyarikatan Muhammadiyah.
          Fungsi guru Muhammadiyah antara lain:
a.     Guru Muhammadiyah pengemban amanat khalifah.
b.     Guru Muhammadiyah pengemban amanat risalah islamiyah.
c.      Guru Muhammadiyah sebagai pembina akhlaq.

5.  Sikap mental guru Muhammadiyah                
              Seorang guru Muhammadiyah harus memiliki sikap mental:
a.     Siap menjalankan perintah Allah
b.     Mempunyai jiwa pengabdian
c.      Ikhlas dalam beramal
d.     Memusatkan segala sesuatunya hanya kepada Allah
e.      Melaksanakan shalat
f.       Mempunyai keyakinan akan kebenaran agama Islam

C. Interaktif Edukatif
         
1.     Pengertian
Interaktif edukatif yakni hubungan timbal balik antara pendidik dengan anak ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Dari batasan tersebut menunjukkan bahwa bukanlah bentuk interaksi yang mendasari suatu interaksi educatif, tetapi tujuan interaksi yang menjadi ciri utamanya.

2.     Interaktif Edukatif sebagai Suatu Proses
Pendidikan dapat dirumuskan dari sudut normatif dan proses teknik.
          Dari sudut normatif, pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu peristiwa yang mempunyai aspek normatif. Artinya, bahwa dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan peserta didik berpegang pada ukuran, norma atau nilai yang diyakini sebagai sesuatu yang baik.
                   Dari proses teknik, pendidikan terutama dilihat dari peristiwa kejadian. Sebagai sebuah kegiatan praktis yang berlangsung dalam satu masa, dan terikat dalam satu situasi, serta terarah pada satu tujuan.
                   Dalam setiap proses interaktif edukatif paling sedikit harus ada tujuan, bahan, peserta didik, guru, metode, situasi yang kondusif.

D. Alat Pendidikan

1.  Pengertian
              Dalam memberikan penegertian tentang alat pendidikan sering dikacaukan dengan faktor pendidikan yang berlangsung dalam pergaulan, tetapi pergaulan bukanlah alat pendidikan, akan tetapi setiap saat pergaulan merupakan lapangan yang tersedia untuk pendidikan.
              Menurut Umar Tirtorahardjo (1994:56), alat-alat pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi:
a.     Alat pendidikan preventif.
-   Preventif , apabila dimaksudkan untuk mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik.
b.     Alat pendidikan kuratif
-   Kuratif, jika dimaksudkan untuk memperbaiki karena anak didik telah melakukan pelanggaran sesuatu atau telah berbuat sesuatu yang buruk


2.  Klasifikasi Alat Pendidikan
              Sebelum menentukan pilihan mana alat pendidikan yang akan dipakai, ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
a.     Tujuan apa yang hendak dicapai
b.     Siapa yang akan menggunakan alat tersebut
c.      Kepada siapa alat tersebut akan dikenakan
d.     Alat mana yang tepat dipergunakan
e.      Jenis kelamin anak didik
f.       Usia anak didik

E. Aspek Tujuan

     Tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen utama pada sistem pendidikan. Dengan itu, diharapkan proses pendidikan dapat mencapai hasil secara efektif dan efisien. Apabila tidak digariskan secara tegas, maka pendidikan akan mengalami ketidakpastian dalam prosesnya, sehingga manusia sebagai out-put pendidikan tidak memiliki patokan atau pedoman hidup luhur yang sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia.

1.     Manfaat Tujuan Pendidikan
a.     Dengan adanya tujuan, arah yang akan dicapai oleh serangkaian kegiatan pendidikan menjadi jelas.
b.     Dengan adanya tujuan pendidikan yang jelas, akan didapatkan titik tolak untuk berkomunikasi dengan semua pihak yang berkepentingan.
c.      Dengan tujuan pendidikan yang jelas, merupakan kerangka dan digunakan dalam rencana kegiatan akademik.

2.     Tujuan, Filsafat dan Pendidikan
Pendidikan selalu memiliki watak yang dicerminkan oleh keadaan dan sifat masyarakat. Karena sifat masyarakat berbeda-beda, maka dengan sendirinya akan berbeda pula tujuan pendidikannya.
Filsafat dan pendidikan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, karena filsafat merupakan segi pemikirannya dan pendidikan segi aktif dinamisnya.
Filsafat mencakup nilai-nilai yang dijunjung tinggi yang dijadikan pedoman dalam setiap kegiatan pendidikan.

F. Lingkungan Pendidikan
          Lingkungan merupakan salah satu unsur dalam pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses yang berlanjut terus-menerus. Sebagai suatu proses, pendidikan akan berlangsung dalam berbagai situasi dan lingkungan, dimana lingkungan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi:
1.     Lingkungan Keluarga
2.     Lingkungan Sekolah
3.     Lingkungan Masyarakat

1.     Lingkungan Keluarga
                   Setiap anak manusia yang dilahirkan di dunia dalam kondisi lemah. Di balik keadaan yang lemah itu ia memiliki potensi, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah.
                   Keluarga adalah merupakan lingkungan pertama bagi anak, di lingkungan keluargalah pertama-tama anak mendapatkan pengaruh sadar yang merupakan lembaga pendidikan tertua, yang bersifat informal dan kodrati.
          Keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama sangat penting dalam membentuk pola kepribadian anak. Karena di dalam keluarga, anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan moral. Dengan demikian pendidikan anak menjadi tanggung jawab orang tua. Sebagaimana firman Allah di dalam Q.S. Al-Tahrim: 6 dinyatakan, ”Wahai orang-orang yanistematg beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
     Fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan:
a.     Pengalaman pertama masa kanak-kanak
b.     Menjamin kehidupan anak
c.      Menanamkan dasar pendidikan moral
d.     Membentuk dasar pendidikan sosial
e.      Dasar pendidikan agama

2.     Lingkungan Sekolah
              Sekolah sebagai lembaga pendidikan resmi, dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara berencana, sengaja, terarah, sistematis, oleh para pendidik profesional dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum untuk jangka waktu tertentu. Sekolah melakukan pembinaan pendidikan untuk anak didasarkan atas kepercayaan dan tuntutan lingkungan keluarga dan masyarakat. Namun tanggung jawab utama pendidikan tetap berada di tangan kedua orang tua anak yang bersangkutan.   
                   Peranan dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan
a.     Membantu keluarga dalam pendidikan anak-anaknya di sekolah.
b.     Memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap secara lengkap sesuai yang dibutuhkan oleh anak-anak dan keluarga yang berbeda.

3.     Lingkungan Masyarakat
              Masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang ketiga setelah lembaga pendidikan formal (sekolah), akan memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam proses pembentukan kepribadian anak.

                   Dalam lingkungan ini akan dapat dikembangkan bermacam-macam aktivitas yang bersifat pendidikan oleh bermacam-macam instansi. Dengan demikian masyarakat sebagai lembaga pendidikan berfungsi sebagai pelengkap, pengganti, dan tambahan ( Muri Yusuf , 1996 ).

              Kegiatan pendidikan yang berfungsi sebagai pelengkap perkembangna kepribadian individu dimaksud sebagai suatu kegiatan pendidikan yang berorientasi melengkapi kemampuan, ketrampilan kognitif maupun performans seseorang, sebagai akibat belum mantapnya apa yang telah mereka terima pada sekolah atau dalam keluarga. Kegiatan ini meliputi antara lain:
a.     Perkembangan rasa sosial dalam komunikasi dengan orang lain.
b.     Pembinaan sikap dan kerjasama dengan anggota masyarakat.
c.      Pembinaan ketrampilan dan kecakapan khusus ysng belum didapat dari sekolah.

Lingkungan pendidikan masyarakat yang berfungsi sebagai pengganti, dimaksudkan lingkungan pendidikan tersebut mengadakan pendidikan yang berfungsi sama dengan lembaga pendidikan formal di sekolah. Hal ini dilaksanakan karena adanya keterbatasan kemampuan lingkungan sekolah, sehingga tidak mampu melayani semua lapisan dan semua anggota masyarakat yang ada.

Lingkungan pendidikan masyarakat yang berfungsi sebagai tambahan, dimaksudkan bahwa lingkungan pendidikan tersebut memberi bantuan kepada peserta didik untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang lebih mendalam, yang sebelumnya pengetahuan dan ketrampilan tersebut diperolrh peserta didik kurang begitu mendalam karena terbatas jumlah jam pelajaran di sekolah.

G. Waktu Pelaksanaan Pendidikan
Proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Strategi pembelajaran antara lain:

1.     Perencanaan Pembelajaran
          Perencanaan pembelajaran dapat mengembangkan karakter. Selain itu dengan adanya rencana pembelajaran dapat mengatur waktu dengan efisien dan semua kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan rencana sehingga dapat memperoleh hasil yang maksimal.

2.     Pelaksanaan Pembelajaran
          Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik.

3.     Evaluasi Pencapaian Belajar
          Teknik dan instrumen penilaian yang dipilih dan dilaksanakan tidak hanya mengukur pencapaian akademik atau kognitif siswa, tetapi juga mengukur perkembangan kepribadian siswa. Bahkan perlu diupayakan bahwa teknik penilaian yang diaplikasikan mengembangkan kepribadian siswa.

          Teknik-teknik penilaian dapat digunakan untuk menilai pencapaian peserta didik baik dalam hal pencapaian akademik maupun kepribadian. Teknik tersebut terutama observasi (dengan lembar observasi atau lembar pengamat), penilaian diri dan penilaian antar teman.

4.     Tindak Lanjut Pembelajaran
          Tugas-tugas penguatan diberikan untuk memfasilitasi peserta didik belajar lebih lanjut tentang kompetensi yang sudah dipelajari dan internalisasi nilai lebih lanjut. Tugas-tugas tersebut antara lain dapat berapa PR yang dikerjakan secara individu atau kelompok baik yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat ataupun panjang yang berapa proyek. Tugas-tugas tersebut selain dapat meningkatkan penguasaan yang ditargetkan, juga menanamkan nilai-nilai.


Kesimpulan : Setiap individu pada dasarnya memiliki potensi untuk segala macam perkembangan. Perbedaan individu yang tampak dalam sikap dan sifat-sifatnya ialah karena perbedaan kesempatan berkembang yang diberikan kepadanya untuk memperoleh hasil yang semaksimal mungkin. Oleh karenanya tugas pendidikan disini ialah supaya setiap individu mempunyai kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensinya. Selain itu melalui pengalaman, latihan dan pengaruh luar lainnya dapat mrnimbulkan perbedaan dalam proses perkembangan setiap anak.

Pendidik dalam arti sederhana adalah semua orang yang dapat membantu perkembangan kepribadian seseorang dan mengarahkannya pada tujuan pendidikan. Pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan atau melatih peserta didik (UU RI No. 2  Th.1989 Sisdiknas).

Guru Muhammadiyah adalah seorang guru yang mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah, maupun yang diangkat langsung oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

Interaktif edukatif yakni hubungan timbal balik antara pendidik dengan anak ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam setiap proses interaktif edukatif paling sedikit harus ada tujuan, bahan, peserta didik, guru, metode, situasi yang kondusif.

Menurut Umar Tirtorahardjo (1994:56), alat-alat pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi:
a.     Alat pendidikan preventif.
-   Preventif , apabila dimaksudkan untuk mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik.
b.     Alat pendidikan kuratif
-   Kuratif, jika dimaksudkan untuk memperbaiki karena anak didik telah melakukan pelanggaran sesuatu atau telah berbuat sesuatu yang buruk

Lingkungan merupakan salah satu unsur dalam pendidikan, dimana lingkungan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi:
1.     Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah merupakan lingkungan pertama bagi anak, di lingkungan keluargalah pertama-tama anak mendapatkan pengaruh sadar yang merupakan lembaga pendidikan tertua, yang bersifat informal dan kodrati.

2.     Lingkungan Sekolah
Sekolah sebagai lembaga pendidikan resmi, dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara berencana, sengaja, terarah, sistematis, oleh para pendidik profesional dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum untuk jangka waktu tertentu.

3.     Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang ketiga setelah lembaga pendidikan formal (sekolah), akan memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam proses pembentukan kepribadian anak.

Proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Strategi pembelajaran antara lain:
a.     Perencanaan pembelajaran
b.     Pelaksanaan pembelajaran
c.      Evaluasi hasil
d.     Tindak lanjut pembelajaran












Bab 7
PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM

A.   Pengertian dan Ciri-ciri Sistem
Sistem secara umum adalah kesatuan komponen yang saling berkaitan menjalankan tugasnya masing-masing untuk mencapai tujuan. Tentang definisi sistem, banyak dikemukakan oleh para tokoh dengan sudut pandangnya masing-masing. Sistem merupakan istilah yang memiliki makna sangat luas dan dapat digunakan sebagai sebutan yang melekat pada sesuatu. Suatu perkumpulan atau organisasi adalah sistem, yang kemudian orang menyebutnya dengan istilah sistem organisasi.

1.     Bela H. Banathy
System adalah satuan/ kaitan objek-objek yang disatukan oleh suatu bentuk interaksi atau saling ketergantungan.
2.     Suhardjo (1985)
System adalah kesatuan fungsional daripada unsur-unsur (aspek-aspek) yang ada untuk mencapai tujuan.

Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan sistem adalah suatu kesatuan yang disatukan oleh suatu bentuk interaksi atau saing ketergantungan dan untuk mencapai tujuan.

Ø Ciri-ciri Sistem
Yang oleh Mudhofir (1986) dikatakan bahwa persamaan dari setiap sistem terletak pada ciri-ciri sistem, yang dapat dirinci, sebagai berikut:

1.     Tujuan

Merupakan sesuatu yang akan dicapai oleh sebuah system. Misalnya : sepeda motor merupakan sistem bertujuan untuk mempermudah transportasi. Manusia sebagai sistem, tujuannya untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan sebagai sistem, tujuannya untuk memberikan layanan bagi yang memerlukan. Pengajaran sebagai sistem, agar siswa belajar untuk dapat menampilkan perilaku tertentu.

2.     Fungsi

Merupakan suatu aktifitas/ fungsi system untuk dapat mencapai tujuan system itu sendiri. Misalnya : manusia sebagai suatu sistem, agar dapat mencapai tujuan hidupnya, dituntut adanya fungsi-fungsi, diantaranya fungsi penafasan, fungsi pencernaan makanan, fungsi penglihatan, dan sebagainya, yang kesemuaannya fungsi tersebut saling berkaitan dan saling mendukung.

3.     Komponen

Merupakan bagian yang ada dalam suatu system, yang melakukan atau memainkan fungsi tertentu dalam rangka mencapai tujuan system. Masing-masing komponen atau unsure system harus melakukan fungsinya sendiri-sendiri, tetapi ia juga harus saling berhubungan (berinteraksi) dan saling memiliki ketergantungan (interdependensi) dengan komponen lainnya.

Dalam suatu system, ada komponen system integral dan ada komponen system tidak integral. Komponen system integral mempunyai keteraitan fungsi secara langsung dan atau merupakan bagian tak terpisahkan dari sub-subsistem yang ada, sehingga bila komponen system ini tidak berfungsi maka akan sangat mengganggu pencapaian tujuan system. Sedang komponen system tidak integral adalah komponen system yang mempunyai arti bagi subsistem lain tetapi bukan merupakan bagian integral dari subsistem lain tersebut, sehingga apabila komponen ini terpaksa tidak ada maka tidak akan mengganggu tujuan pencapaian system.

4.     Interaksi atau Saling Hubungan

Seperti yang telah dikemukakan di muka bahwa suatu system itu terdiri dari beberapa komponen dan secara fungsional komponen tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri tapi saling mempunyai keterkaitan bahkan dapat dikatakan saling memiliki ketergantungan.


5.     Penggabungan yang Menimbulkan Jalinan Keterpaduan

Keterpaduan komponen system akan memperkuat kerja dan fungsi system karena masing-masing komponen merupakan jalinan yang saling menunjang.

6.     Proses Transformasi

Merupakan suatu aktivitas untuk mengubah masukan/ bahan mentah menjadi suatu produk atau bahan jadi. Produk atau bahan jadi ini akan tersalurkan menjadi masukan sistem lain, sistem lain ini juga akan dilakukan proses transformasi, demikian seterusnya. Berbicara tentang proses transformasi, harus diingat pula bahwa setiap sistem terdiri dari sub-subsistem dan setiap subsistem juga merupakan sistem tersendiri, yang juga melakukan aktivitas transformasi.

7.     Umpan Balik

Merupakan aktivitas pemantauan atau control terhadap efektivitas dan efisiensi kerja system.

8.     Daerah Batasan dan Lingkungan

Suatu system akan berinteraksi atau berhadapan dengan system lain, atau lingkungan system yang berada di luar system. Karena lingkungan yang berada diluar sistem itu juga merupakan sistem tersendiri, perlu ada ketegasan batasan tentang sistem tertentu. Misalnya, manusia sebagai suatu sistem, akan mempunyai batasan yang berbeda dengan binatang yang berbagai sistem, kegiatan pendidikan sebagai suatu sistem akan berbeda dengan kegiatan ekonomi sebagai suatu sistem.

B.   Pendidikan Sebagai Suatu Sistem


Ø Raw Input. Merupakan bahan mentah yang akan diproses dalam suatu unit usaha atau organisasi. Dalam konteks pendidikan, yang dimaksud raw input adalah calon siswa.

Ø Instrumental Input. Merupakan unsure pendukung yang mempengaruhi aktivitas organisasi atau unit usaha dan dapat dirancang atau dipersiapkan oleh unit usaha atau oleh organisasi yang bersangkutan. Dalam konteks pendidikan, yang dimaksud instrumental input adalah SDM (guru dan non guru), system administrasi sekolah, kurikulum, anggaran pendidikan, sarana dan prasarana.


Ø Environmental Input. Merupakan factor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas suatu organisasi atau unit usaha, tetapi tidak dapat dirancang atau dipersiapkan oleh unit usaha atau organisasi yang bersangkutan. Dalam konteks pendidikan, yang dimaksud environmental input adalah pengaruh TV, ekonomi, politik, social budaya, dll.


C.   Sistem Pendidikan dan Subsistem Pendidikan dalam Supra Sistem
Pendiddikan sebagai suatu sistem merupakan subsistem (bagian) dari supra sistem, di samping mempunyai sub-sistem pendidikan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam supra sistem (masyarakat) itu terdapat beberapa sistem, misalnya sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem keamanan, dll. Masing-masing sistem dalam supra sistem tersebut terdiri dari sub-subsistem, begitu pula sistem pendidikan yang didalamnya juga terdapat sub-subsistem.















Bab 8
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

A.   PENGERTIAN

Sehubungan dengan persoalan yang dibahas dalam tulisan ini mengenai prinsip-prinsip yang bersifat filosofis tentang sistem pendidikan nasional. Maka, patut dijelaskan pengertian sistem pendidikan nasional secara filosofis untuk mengungkap formulasi bahasan tulisan ini, sehingga bahasan terfokus pada persoalan yang mendasar dan patut dibahas.

Penjelasan pertama yakni mengenai sistem, sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Jusuf Amir Faesal mengungkapkan sistem adalah suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang tergabung menjadi suatu keseluruhan. Jadi, sederhananya sistem adalah satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh yang saling bertautan dan berhubungan yang memuat suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan.

Penjelasan kedua yakni mengenai filsafat, menurut Imam Barnadib filsafat diartikan ilmu yang berusaha untuk memahami semua hal yang timbul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia. Namun, menurut Junjun S. Suriasumantri filsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau. Ringkasnya, menurutnya filsafat adalah segala sesuatu yang mungkin dapat dipikirkan.

Disamping itu, secara umum Jusuf Amir Faesal mengungkap bahwa sistem pendidikan nasional yakni suatu usaha keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Atau ringkasnya, sistem pendidikan nasional adalah satu pranata dari sejumlah pranata yang berada dalam sistem pendidikan nasional.

Dari berbagai pengertian diatas, kesimpulan sederhana mengenai sistem pendidikan nasional secara filosofis adalah satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh yang saling bertautan dan berhubungan dalam sistem pendidikan nasional untuk mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum. Jika tinjauannya filosofis maka tentu akan berhubungan dengan metode filsafat seperti konteks epistimologi, ontologi dan aksiologi.

Keterkaitan sistem dengan filosofis dalam hal pendidikan nasional sangat penting, maka filosofi sistem pendidikan nasional dipelajari secara menyeluruh, satu kesatuan yang utuh, guna memperoleh pandangan mengenai problem-problem utama dan lapangan penyelidikannya yang saling berhubungan dengan mekanisme pendidikan secara umum.

Namun, karena mekanisme pendidikan bersifat pengalaman dan aksi-lapangan yang berproses. Karenanya, dalam konsepsi sistem pendidikan nasional juga bersifat filosofis dalam satu kesatuannya. Dan juga karena filsafat merupakan produk berpikir, maka filsafat senantiasa mengalami perubahan. Karenanya, proses filosofi berangkat dari ontologi dan epistimologi. Sementara itu, proses pendidikan bersifat kegiatan dan juga sebagai ilmu, maka penulis menguak persoalan sistem pendidikan nasional sebagai ilmu melalui pendekatan keilmuan dengan menggunakan metode ontologi, yakni mengungkap prinsip-prinsip filosofis sistem.

Disamping itu, fenomena pendidikan nasional mengajak kita juga berbicara mengenai sistem pendidikan nasional dalam kerangka filsafat pendidikan spekulatif. Kerangka ini dibutuhkan mengingat problematika pendidikan nasional kita yang lahir dari ‘rahim sejarah’ yang unik. Spekulatif dibutuhkan untuk mempertegas bahwa ‘tak ada satu pun di dunia ini yang mustahil’, ‘sulit bukan berarti tidak mungkin’, atau ‘no mission imposible’ dan seterusnya.

Arahan spekulatif itu adalah berkisar pada terumusnya tujuan pendidikan Islami dalam kerangka pendidikan nasional. Dan menawarkan prinsip-prinsip filosofis ke dalam sistem pendidikan nasional secara umum. Adapun prinsip-prinsip filosofis yang patut menjadi perhatian dalam sistem pendidikan nasional yang islami adalah Prinsip Keseimbangan Tujuan-hidup(Filosofis Sistem Pendidikan Nasional), Prinsip Integralitas-ilmu, Prinsip Kurikulum Sintesis, Prinsip Metode Sintesis-Kreatif, Prinsip Alat Bantu-inovatif, Prinsip Evaluasi-Proyektif, dan Prinsip Open-Management.

B.   UNDANG-UNDANG SISDIKNAS

1.     PENDAHULUAN

Setidaknya ada dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN. Dan yang kedua Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS, sebelum adanya kedua Undang-undang yang mengatur tentang system pendidikan nasional, Indonesia hanya memiliki Undang-undang tentang pokok-pokok pengajaran dan pendidikan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950.

Adanya perubahan UUSPN No.2 tahun 1989 menjadai UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dimaksudkan agar system pendidikan nasional kita bisa menjadi jauh lebih baik dibanding dengan system pendidikan sebelumnya. Hal ini seperti yang dikemukan oleh seorang pengamat hukum dan pendidikan, Frans Hendrawinata[ii] beliau mengatakan bahwa dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru, maka diharapkan undang-undang tersebut dapat menjadi pedoman bagi kita untuk memiliki suatu sistem pendidikan nasional yang mantap, yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas.

Apalagi mengingat semakin dekatnya era keterbukaan pasar. Hal tersebut sesungguhnya harus menjadi kekhawatiran bagi kita semua mengingat kualitas sumber daya manusia di Indonesia berada di bawah negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga di Asean. Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini.

2.     ANALISIS
Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS  Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan Ahlaq dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral.

Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”. Padahal dalam UU sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama

Di sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islam dimana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrash mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran. Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan “SD/SMP”.

Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islamnya)[iii]

Sementara saat akan diundangkannya RUU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi dimana RUU ini dianggap oleh  Kelompok tertentu sebagai RUU yang  sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: “Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan.

Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam. Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.

Pasal ini sangat adil. Sebab, sekolah-sekolah non-Islam dan Islam dikenai kewajiban yang sama. Sekolah-sekolah Islam menyediakan guru agama dari non-Islam, sebaliknya sekolah-sekolah non-Islam menyediakan guru-guru agama Islam. Hanya realitasnya adalah banyaknya anak-anak dari keluarga Islam yang bersekolah di sekolah non-Islam. Sementara itu anak-anak dari keluarga non-Islam sedikit sekali – untuk tidak menyatakan tidak ada – yang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang berwatak Islam.

Konsekuensinya, beban anggaran sekolah-sekolah non-Islam untuk menyediakan guru-guru agama Islam lebih besar daripada anggaran sekolah-sekolah swasta Islam untuk menggaji guru-guru agama lain. Padahal UU itu cukup adil. Masalah itu bisa terjawab manakala pemerintah menyediakan dan menanggung gaji guru-guru agama itu. Atau beban itu diserahkan sepenuhnya ke orang tua anak didik, bukan lembaga pendidikan. Jika ini tidak diatasi, akan menimbulkan bahaya besar. Sekolah-sekolah swasta baik Islam maupun non-Islam karena keterbatasan anggaran lalu membatasi jumlah anak didik yang berbeda agama.

Departemen Agama (Depag) sudah mengantisipasi dengan menyediakan tenaga guru-guru agama bila RUU Sisdiknas ini disahkan. Jadi, sebetulnya tidak masalah dan mengkhawatirkan soal tenaga guru untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah-sekolah non-Islam.

Lain halnya jika dalam memaknai dan memahami pasal 13 RUU Sisdiknas, semula kalangan dari penyelenggara negara sampai lembaga-lembaga pendidikan keagamaan masih terjebak pada kecurigaan-kecurigaan isu agama seperti adanya islamisasi dan seterusnya yang semestinya sudah lama dihilangkan.

Jika kita lihat perjalanan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut tidaklah ada yang berjalan mulus kedua-duanya mengandung kontoversi dan pada akhirnya dibalik semua kontroversi yang ada pada tanggal 8 Juli 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional disyahkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri.

















Bab 9
LANDASAN HISTORIS
PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA

A.   LANDASAN HISTORIS KEPENDIDIKAN DI INDONESIA
Sejarah atau history keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109).

Informasi-informasi di atas merupakan warisan generasi terdahulu kepada generasi muda yang tidak ternilai harganya. Generasi muda dapat belajar dari informasi-informasi ini terutama tentang kejadian-kejadian masa lampau dan memanfaatkannya untuk mengembangkan kemampuan diri mereka. Sejarah telah memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi mereka dan semuanya ini diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini dan masa yang akan datang.

Misalnya, Indonesia dan negara-negara lainnya pada tahap awal perkembangan ekonomi mereka telah mengembangkan sistem pendidikan yang baik dan berdasarkan kebudayaan tradisional. Pada masa kolonial, sistem pendidikan berkembang dengan berdasar pada sistem pendidikan sebelumnya ini. Pada masa modern seperti sekarang, sistem pendidikan yang berlaku juga berdasarkan pengembangan dari sistem pendidikan kolonial (Williams, 1977: 17).
Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif (Buchori, 1995: vii). Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.

Perjalanan sejarah pendidikan di tanah air yang sangat panjang, bahkan semenjak jauh sebelum kita menacapai kemerdekaan pada tahun 1945, baik sebagai aktivitas intelektualisasi dan budaya maupun sebagai alat perjuangan politik untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme, telah diwarnai oleh bermacam-macam corak (Sigit, 1992: xi) . Menjelang 64 tahun Indonesia merdeka, dengan system politik sebagai penjabaran demokrasi Pancasila di Era Reformasi ini yang telah mewujudkan pola Pendidikan Nasional seperti sekarang, kita mulai dapat melihat dengan ke arah mana partisipasi masyarakat dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan itu. Semua corak tersebut memiliki pandangan atau dasar pemikiran yang hampir sama tentang pendidikan; pendidikan diarahkan pada optimasi upaya pendidikan sebagai bagian integral dari proses pembangunan bangsa.

Di samping itu, pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkam generasi berkualitas untuk kepentingan masa depan. Pendidikan dijadikan sebagai institusi utama dalam upaya pembentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang diharapkan suatu bangsa. Apalagi kini semakin dirasakan bahwa SDM Indonesia masih lemah dalam hal daya saing (kemampuan kompetisi) dan daya sanding (kemampuan kerja sama) dengan bangsa lain di dunia (Anzizhan, 2004: 1).

Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang lampau (Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa.

Berikut ini adalah pembahasan landasan sejarah kependidikan di Indonesia yang meliputi:

A. SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (ibid.: 125). Mudyahardjo (2008) dan Nasution (2008) menguraikan masing-masing zaman tersebut secara lebih terperinci.
Berikut ini adalah uraian dan rincian perjalanan sejarah pendidikan Indonesia:

1.      Zaman Pengaruh Hindu dan Budha
Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika , secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardja, 2008: 215)
Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut. Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan bergama Hindu dan Budha (ibid.: 217)

2.      Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)
Islam mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan (ibid.: 221). Pendidikan Islam pada zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.

Tujuan pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. (ibid.: 223)

Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan yang menonjol adalah di daerah Minangkabau (ibid.: 228-41).

3.      Zaman Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).

Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Nasution, 2008: 4). Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.

Orde ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan yaitu segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan (Mudyahardjo, 2008: 243). Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah, memberi pelajaran, dan pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan yang seragam: sama di mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4).

Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds Oost Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602 (Mudyahardjo, 2008: 245).

Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).

4.     Zaman Kolonial Belanda
VOC pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan benteng oleh Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah di tanakh air, akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda (ibid.: 3).
Pada tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para Komisaris Jendral dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikandari dasar kembali, karena pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Ide-ide liberal aliran Ufklarung atau Enlightement, yang mana mengatakan bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak mempengaruhi mereka (ibid.: 8).

Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19.

Setelah tahun1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia (ibid.: 10-13).

Pada tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan agar pemerintahnnya lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan, perwakilan yang mana semua ini memerlukan peranan penting pendidikan (ibid.: 16). Di samping itu, Van Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda. Menurutnya, mereka yang menguasai Belanda secara kultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi yang lainnya (ibid.: 17).

Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru.

Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.

Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2008: 125-33).

5.     Zaman Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka.

Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia.

6.      Zaman Kemerdekaan (Awal)
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saai itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang amat berat.

Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan yang diharapka bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.

7.     Zaman ‘Orde Lama’
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai bidang, baik spiritual maupun material.

Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, system pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara.

Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, lahir-batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan abadi (Mudyahardjo, 2008: 403).

8.     Zaman ‘Orde Baru’
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.

Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan masyarakat(Ibid.: 422, 433). Pendidikan pada masa memungkinkan adanya penghayatan dan pengamalam Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya di dalam sekolah sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan (ibid.: 434).

Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar (Pidarta, 2008: 137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).

Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).

9.     Zaman ‘Reformasi’
Selama Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.: 143).

Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.

Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk, pengangguran bertambah banyak, demikian juga halnya dengan penduduk miskin. Korupsi semakin hebat dan semakin sulit diberantas. Namun demikian, dalam bidang pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-Undang Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality Management).










Bab 10
PERMASALAHAN PENDIDIKAN

A.   MASALAH KUALITAS

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.

Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.

Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.

Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.

Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).

Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
1.     Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
2.     Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
3.     Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4.     Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
5.     Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
6.     Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
7.     Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
8.     Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.

B.   PENYEBAB RENDAHNYA KUALITAS

Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.

Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.

Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.

2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.

Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.

Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.

Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.

Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.

Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.

Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.

3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.

Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.

Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.

Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.

Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.

Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia :

1.     Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

2.     Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3.     Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

4.     Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5.     Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

6.     Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7.     Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

C.   SOLUSI DARI PERMASALAHAN PENDIDIKAN

Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.

Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Kesimpulan : Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.

Saran :
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.

Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.







DAFTAR PUSTAKA

http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.sib-bangkok.org.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
Anonymous,2000. Efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com. Tanggal 10 Desember 2009  Anonymous,2009. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia. Diakses dari  http://www.detiknews.com. Tanggal 10 Desember 2009
Anonymous,2009. Sistem pendidikan .Diakses dari
http://www.sib-bangkok.org. Tanggal 10 Desember 2009.
Suardi, edi. 1986. Pedagogi 2. Bandung : Penerbit Angkasa.
Soenarya, Endang. 2000. Teori Perencanaan Pendidikan. Yogyakarta : Adi Cita.
Jumali, M, dkk. 2008. Landasan Pendidikan. Surakarta : Muhammadiyah University Press.

1 komentar: